Oleh : Ustadz Yendri Junaidi, Lc MA, dosen STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang dan Ketua Bidang Fatwa dan Hukum MUI Kota Tanah Datar
Pertama, pendapat utuh dari sumber tidak tersampaikan.
Kedua, sebagian orang menganggap bahwa kalau sebuah hadits tidak ada asal maka buang saja, tak perlu dihiraukan.
Mereka tidak bisa membedakan antara hukum sebuah hadits dan makna hadits yang tetap bisa diamalkan. Mereka belum familiar dengan ungkapan para ulama:
الحديث موضوع لكن معناه صحيح
"Haditsnya palsu tapi maknanya benar."
Baca juga: 15 Pengakuan Orientalis Non-Muslim Ini Tegaskan Alquran Murni tak Ada Kesalahan
Yang dilarang itu adalah menisbahkan sebuah hadits yang palsu kepada Rasulullah SAW. Adapun mengambil makna dan mengamalkan subtansinya, ini pembahasan lain.
Kalau ada seorang penceramah mengatakan, "Sholat itu tiang agama, siapa yang mendirikan sholat berarti mendirikan agama, dan siapa yang meninggalkan sholat berarti meninggalkan agama," maka ucapannya ini benar.
Ia baru bisa dikatakan salah kalau mengatakan, "Ini adalah hadits Rasulullah SAW." (Meski hal ini masih bisa diperdebatkan karena bagian awal haditsnya shahih atau hasan, dan beberapa ulama hadits ada yang mengatakan hadits ini memiliki asal).
Ketiga, ilmu yang setengah-setengah lebih berbahaya dari kebodohan. Karena itu jangan pernah mengambil ilmu dari pesan-pesan singkat. Ilmu tidak mengenal istilah instan.