Ahad 12 Jun 2022 06:46 WIB

Studi Kritis Konsep Maskulinitas dalam Tafsir Alquran Kementerian Agama 

Kementerian Agama disebut paling produktif cetuskan produk kajian Alquran

Alquran (ilustrasi). Kementerian Agama disebut paling produktif cetuskan produk kajian Alquran
Foto:

Oleh : Prof Syihabuddin Qalyubi, guru besar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sebagai sesuatu yang bersifat biologis, istilah seks dipandang sebagai hal yang stabil, merujuk pada alat kelamin laki-laki dan perempuan serta tindakan penggunaannya.

Jika seks adalah sebuah konsep tentang perbedaan dan pembedaan jenis kelamin berdasarkan aspek hormonal, biologis dan patologis yang bersifat stabil dan natural (given), maka seksualitas yang di dalamnya tercakup aspek gender merupakan sebuah proses sosial budaya yang mengarahkan hasrat atau berahi manusia. 

Namun demikian, seksualitas tidak semata-mata berkaitan dengan aspek organ seksual biologis, tetapi juga mencakup spektrum fisik biologis, struktur anatomi tubuh serta unsur psikologis (rohani) manusia.

Merujuk pendapat Connell, maskulinitas hegemonik (hegemonic masculinity) merupakan kerangka konseptual yang biasa digunakan untuk mengekspresikan hubungan gender dominasi dan subordinasi, mengacu pada konfigurasi praktik gender yang mewujudkan jawaban yang diterima saat ini untuk masalah legitimasi patriarki, yang menjamin (atau dianggap menjamin) dan yang mendominasi kedudukan laki-laki dan subordinasi perempuan. 

Secara empirik, maskulinitas tidak bersifat tunggal, tetapi beragam (multiple masculinities) dan bersifat sangat cair. Secara praktik, hegemoni maskulinitas terdiri dari beragam praktik yang memungkinkan dalam upaya mempertahankan status dan kekuasaan laki-laki atas perempuan secara kolektif (dimensi eksternal) dan atau hegemoni sekelompok laki-laki atas laki-laki lainnya (dimensi internal).

Dengan merujuk konsep dan teori hegemonic masculinity yang diperkenalkan oleh RW Connell tersebut, peneliti menawarkan konsep dan istilah baru untuk menjelaskan konstruksi maskulinitas hegemoni dalam wacana seksualitas. Konsep baru itu disebut Patriarchic Hegemonic Masculinity (maskulinitas hegemonik patriarkis). 

Konsep tersebut dapat menghasilkan tiga kategori yang juga secara teoritik melahirkan kategori turunan yaitu maskulinitas patriarkis aktif (active patriarchal masculinity), maskulinitas hegemonik pasif (passive hegemonic masculinity), dan maskulinitas hegemonik yang setara (equal hegemonic masculinity).

Berdasarkan penelitiannya, Ahmad Supriadi, berkesimpulan bahwa politik seksualitas yang dijalankan oleh kekuasaan negara di Indonesia pada rezim Orde Baru sangat menonjolkan dominasi maskulinitas laki-laki dengan mendomestifikasi peran perempuan dengan dua karaktersitik yaitu pertama otoritarianisme kedua, dominasi patriarkis melalui politik “ibuisme negara” (state ibuism) yang cenderung melakukan domestifikasi perempuan serta kontrol yang kuat terhadap seksualitas. Politik ini mengalami dinamika dan pergeseran (change) pada Orde Reformasi, meskipun masih dapat ditemukan jejak patriarkis. 

Pada Orde Reformasi, politik seksualitas mengalami dinamika dan pergeseran ke arah yang lebih ramah gender serta perlindungan terhadap hak-hak seksual bagi perempuan sehingga lebih setara baik melalui kebijakan undang-undang, seperti revisi UU Perkawinan, pembentukan Komnas Perempuan dan Anak, penerbitan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Pornografi dan lain sebagainya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement