Oleh : Ustadz Dr Yendri Junaidi Lc MA, Ketua Komisi Fatwa MUI Tanah Datar
Syekh Syaltut menjawab, “Engkau kan tahu bahwa kaidah itu bersifat aghlabiyyah (ada pengecualian-pengecualiannya).”
Syekh Sya’rawi menyanggah, “Mereka mengatakan aghalabiyyah karena ada ayat ini (sebagai sebuah pelarian).”
Saat mereka sedang berdiskusi itu, tiba-tiba saja muncul seseorang yang tampak asing. Tak satu pun dari ketiga ulama ini mengenalnya. Secara spontan orang itu berkata, “Wahai para ulama, mengapa kalian melupakan isim maushul?” Setelah itu, orang tersebut pergi dan menghilang begitu saja.
Ketiga ulama ini terdiam. Lebih setengah jam mereka tak bisa berkata-kata. Siapakah orang yang datang itu? Dari mana ia tahu apa yang sedang mereka diskusikan? Dan bagaimana ia bisa memberikan jawaban yang singkat dan tepat seperti itu?
Mereka telah diingatkan bahwa kata إِلَهٌ dalam surat Az Zukhruf meskipun disebutkan dalam bentuk nakirah dan diulang dua kali, tidak berarti ada dua Tuhan, satu di langit dan satu di bumi.
Mengapa demikian? Karena diawal ayat ada isim maushul (الَّذِي). Berarti kalimat setelah itu merupakan shilah maushul. Kedua shilah maushul itu merujuk pada isim maushul yang sama, yaitu الَّذِي, dan itu adalah Zat Yang Tunggal.
فتح الله علينا فتوح العارفين