Jumat 03 Jun 2022 09:35 WIB

Naskah Khutbah Jumat: Meraih Kebahagiaan di Negeri Akhirat

Tuhan yang disembah itu hanyalah Allah SWT.

Naskah Khutbah Jumat: Meraih Kebahagiaan di Negeri Akhirat
Foto:

Jama’ah Jum’at rahimakumullah

Lalu bagaimana pelaksanaannya dengan konteks mencari kebahagiaan uhrawi. Dalam kasus ini, maka yang benar-benar perlu disadari, bahwa “muara baku”-nya adalah terletak pada masalah akidah. Di sini peranan akhlak yang baik yang konsisten adalah memegang kunci utama.

Oleh karenanya apabila terjadi kecacatan pada akhlak akan menjadikan pemahaman tentang ke-Esaan Allah bisa terganggu, bisa eror, dan bisa tidak murni. Dan apabila terkondisi yang demikian, maka ujung-ujungnya usaha meraih kebahagiaan negeri akhirat bakal tidak tercapai bahkan sebaliknya manusia akan memetik ulahnya itu dalam kesengsaraan yang panjang yang tiada taranya.

Sebagai gambaran yang simpel tentang ke-eroran akhlak dalam masalah akidah, misal: Memohon keselamatan dengan memberi sesaji/sesembahan kepada yang dianggap sebagai “penunggu/baureksa” perempatan/pertigaan jalan, jembatan, bumi, gunung, laut serta sesaji kepada macam-macam benda/makhluk; keris, patung, pepohonan, juga binatang. Serta mengkeramatkan kuburan seseorang yang dianggap shalih dsb.

Perbuatan semacam ini apabila dilakukan oleh seorang Muslim, secara sadar atau tidak sadar ia telah mencampur-baurkan antara pemahaman yang hak dan yang batil. Yang berarti telah terjadi kekacauan pada akhlak. Ia sudah terperangkap kepada perbuatan syirik, yaitu menyembah kepada selain Allah SwT.

Sebagai seorang Muslim seharusnya benar-benar menyadari bahwa memuja-muja atau menyembah selain kepada Allah SwT adalah syirik. Dan dosa syirik tidak bakal diampuni oleh Allah SwT, sebagaimana difirmankan-Nya;

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya,” (Q.s. An-Nisa’ [4]: 48).

Sebuah pertanyaan mungkin muncul; Mengapa sampai kini ada diantara seseorang Muslim yang masih saja mencampur-adukkan antara pemahaman yang hak/benar dan yang batil dalam masalah akidah ini? Jawabannya, karena dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SwT ia lakukan tidak sepenuh hati atau dengan kata lain masih setengah-setengah (meski mereka tidak mengakui sikap yang dilakukannya itu). Jadi unsur keragu-raguan masih berkecamuk dalam hati dan benaknya. Dalam kaitan ini Allah SwT telah memperingatkannya, sebagaimana firman-Nya;

“Dan di antara manusia ada orangyang menyembah Allah dengan berada di tepi (tidak penuh keyakinan); maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia     ditimpa suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang (kembali melakukan kekufuran/kemusyrikan). Rugilah ia di dunia dan di akhirat…..,”. (Q.s. Al-Haj [22]: 11).

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَ لَكُمْ فِيْ الْقُرْآنِ العَظِيْمِ  وَ نَفَعَنِيْ وَ إِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَ الذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَ تَقَبَّلَ اللهُ مِنّيْ وَ مِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement