Sabtu 13 Apr 2024 19:57 WIB

Penjelasan Tawasul yang Sesuai Tradisi Ulama

Tawasul untuk mendekati Allah.

Rep: mgrol151/ Red: Erdy Nasrul
Orang berdoa (ilustrasi).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Orang berdoa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tawasul adalah praktik dalam Islam di mana seseorang mencari perantara atau memohon syafaat kepada Allah melalui sesuatu yang dianggap dekat dengan-Nya, seperti Nabi Muhammad atau orang suci.

Dalam ceramahnya, Habib Hasan bin Ismail Al Muhdor menjelaskan bahwa tawasul adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui perantara, yang bisa berupa individu yang dicintai oleh Allah atau amalan yang shaleh. Habib menegaskan bahwa tawasul diakui dalam Alquran dan Sunnah, dan bahwa mencari perantara adalah bagian dari ajaran agama.

Baca Juga

Carilah untuk ke Allah itu dengan wasilah atau dengan perantara, sehingga wasilah adalah perantara yang mengundang rahmat Allah kepada umat Muslim. Perantara yang membuat Allah mengampuni dosa kita, dan mengabulkan hajat kita. 

Terdapat 3 hal, pertama manusia, perantara, kemudian Allah. Tahap tawasul seperti ini yang Allah inginkan. 

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ

Jika engkau mau meminta, mintalah kepada Allah. (HR. Muslim).

Hadis diatas menjelaskan bahwa segala sesuatu yang diinginkan harus meminta kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi, hadis tersebut tidak ada larangan untuk melakukan doa melalui perantara atau wasilah.

Ulama melihat ayat-ayat Alquran, melihat hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan melihat yang dilakukan sahabat. Maka menyimpulkan bahwa wasilah itu bisa dengan orang yang dicintai oleh Allah atau amalan yang dicintai oleh Allah. 

Jadi, wasilah itu dilakukan dengan sesuatu yang dicintai oleh Allah, baik manusia ataupun amal shaleh manusia, baik manusia yang masih hidup maupun manusia yang sudah meninggal.

Karena menurut Habib Hasan, tidak ada bedanya manusia yang hidup dan yang sudah meninggal.

Namun, kontroversi muncul terutama terkait dengan apakah tawasul harus dilakukan dengan individu yang masih hidup atau mereka yang telah meninggal. Habib Hasan mempertahankan bahwa tawasul bisa dilakukan dengan kedua jenis perantara, baik hidup maupun meninggal, karena yang penting adalah bahwa perantara tersebut dicintai oleh Allah.

Penjelasan Habib didukung oleh referensi dari ayat Alquran, hadis Nabi, serta praktik sahabat-sahabat Nabi yang mulia. Dia menyimpulkan bahwa tidak ada larangan tawasul dengan yang telah meninggal, selama perantara tersebut merupakan individu yang dicintai oleh Allah.

Seperti contohnya Sayyidina Umar Bin Khattab setelah Nabi meninggal, dia bertawasul kepada Abbas yang merupakan paman Nabi. 

Kedua, wasilah dengan amal shaleh seperti yang ada dalam hadis Riyadhus Shalihin. 

Seseorang wasilah kepada amalnya, salah satunya ada yang amal bakti kepada orang tua. Habib hasan menceritakan, ketika tiga orang yang masuk ke gua kemudian pintu gua tertutup dengan batu besar sehingga tidak bisa geser sedikit pun kecuali rahmat Allah subhanahu wa ta'ala yang menyelamatkannya. 

Batu yang menghalangi gua tersebut bisa digeser dengan beberapa cara. Pertama berkat seseorang yang bertawasul kepada amal sholehnya yang berbakti kepada orang tuanya. 

Kedua, wasilah dengan sifat amanahnya. Ketika dia memegang harta, maka dipelihara dengan sebaik-baiknya. Ketiga, tawasul dengan takutnya sama Allah sehingga tidak berbuat hal yang diharamkan oleh Allah. 

Dengan berbagai cara tersebut bisa membukakan batu yang menghalangi gua tersebut. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement