Selasa 09 Apr 2024 17:58 WIB

Khutbah Idul Fitri 1445 H: Persaudaraan Adalah Kunci Kemajuan Bangsa dan Negara

Idul Fitri adalah momentum meneruskan kebaikan selama Ramadhan

Umat muslim melaksanakan shalat Jumat terakhir di bulan Ramadhan 1445 Hijriah di Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (5/4/2024). Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menetapkan 1 Syawal 1445 Hijriah jatuh pada Rabu, 10 April 2024 mendatang, sementara lembaga Falakiyah PBNU akan melakukan pemantauan hilal terlebih dahulu pada 9 April 2024 besok. Untuk diketahui, Pemerintah melalui Kementerian Agama telah memprediksi lebaran tahun ini akan jatuh pada tanggal 10 April atau dirayakan secara serentak di seluruh Indonesia, meski demikian, pemerintah akan memastikan penetapan 1 Syawal setelah sidang isbat pada Selasa 9 April 2024.
Foto:

Oleh : KH M Cholil Nafis PhD, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah

 Allah akbar 3X Walillahi al hamdu

Jamaah shalat Idul Fitri yang berbahagia  

Guna mengimplementasikan keberhasilan ibadah puasa maka pada hari ini kita merayakan lebaran Idul Fitri. Yaitu kembali kepada kebiasaan hidup kita makan di siang hari, saat bersamaan kita telah menggapai fitrah diri manusia karena dosa-dosa dan belenggu hati nurani telah Allah SWT ampuni dan dihapus sehingga kita bagaikan anak yang baru dilahifrkan. Fitrah adalah asal kejadian, keadaan suci. Fitrah adalah sesuatu yang universal. Karena seperti yang dikatakan Rasulullah SAW bahwa umat manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (kullu mauludin yuladu ‘ala al fitrah). Ini artinya bahwa fitrah adalah sesuatu yang inheren dengan jati diri manusia. Jati diri manusia adalah keberadaan umat manusia sebagai hamba Allah, ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang sekaligus sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi. 

Implementasi kefitrahan kita harus tampak dalam perannya menjadi pelita dan penolong kepada yang lain. Sebab manusia yang sukses dan yang terbaik adalah yang paling banyak memberi manfaat kepada orang banyak. Seseorang akan lebih baik dan sukses manakala ia banyak menebarkan kebaikan kepada orang banyak. Sebab hidup ini akan dituntut oleh Allah SWT dengan dua hal, yaitu apa jasanya dan apa legasinya (ma qaddamu wa atsarahum). Hidup ini hanya melewati waktu yang akan dicatat apakah tindakannya akan menjadi torehan sejarah atau hal sia-sia di tong sampah. 

Cara yang paling efektif untuk lebih produktif berbuat maslahat kepada masyarakatb ialah membangun persaudaraan yang kokoh. Persaudaraan itu dapat dibangun atas saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum) dan saling menolong dan melindungi (ta’awun wa takaful). Dalam konteks persaudaraan, Imam Abu Hamid  Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin membagi tingkatan persaudaraan kepda tiga level. 

Pertama, persaudaraan yang dibangun atas saling tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan atau mengatasi masalah. Persaudaraan seperti ini hanya sebatas menolong atas saudaranya yang lain tak lebih dari sekedar berbagi dan peduli. Kedua, persaudaraan yang menganggap orang lain adalah dirinya. Bahwa apa yang terjadi kepada dia adalah sama denga apa yang terjadi kepada dirinya sehingga menganggap apa yang dimiliki olehnya adalah untuk membantu saudaranya. Ketiga, persaudaraan yang sampai pada derajat mengutamakan dia dari pada dirinya sendiri. Ia rela memberi kepada saudaranya meskipun pada saat yang bersamaan sedang membutuhkannya tapi mengalah dan memberinya demi menolong saudaranya (wayu’tsiruna ‘ala anfusihim walau kana bihim khashsahah). 

Persaudaraan level tertinggi ini dasarnya iman dan pernah diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada kaum muslimin Ansor di Madinah dengan kaum muslimin Muhajirin dari Mekkah saat berhijrah bersama Nabi saw. Suatu saat sahabat Ansor bernama Sa’dad bin Rabi’ menawarkan kepada Abdurrhaman bin “Auf untuk dibagi dua hartanya dan separuh untuk dia. Menerima tawaran demikian, maka Abdurrahman tidak aji mumpung tapi dia menolak dan mendoakan kepadanya, "Semoga Allah memberkahi kamu, keluargamu dan hartamu, namun tolong tunjukkan kepadaku di mana lokasi pasar." 

Rasulullah SAW menggambarkan persaudaraan dibangun atas iman seperti satu fisik (kaljasadil wahid) sehingga saling merasakan antar saudara, dan bagaiklan satu bangunan (kalbunyanil wahid) yang saling menguatkan antar sesama. Kedua hadits tersebut oleh Ibnu Khaldun dirumuskan dalam teori fanatisme positif (al-ta’ashshub al-ijabi). Yaitu fanatisme atas dasar iman dan kebaikan bersama sehingga dapat dibangun dan dikuatkan menjadi kekuatan sosial yang baik dan untuk kebaikan. 

Dalam konteks persaudaraan ini, kiranya patut kita merevitalisasi  konsep “trilogi ukhuwah” yang awalnya dikenalkan oleh tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Ahmad Shiddiq (1926-1991). Konsep trilogi ukhuwah adalah menyatukan antara ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan dalam ikatan kebangsaan) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama umat manusia).

Ukhuwah Islamiyah, adalah persaudaraan sesama pemeluk agama Islam, baik dalam bingkai kenegaraan atau bingkai keumatan. Inilah modal umat Islam dalam melakukan interaksi sosial sesama muslim. Ukhuwah wathaniyah adalah persaudaraan untuk membangun persatuan antar anak bangsa dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Inilah modal dasar untuk melakukan pergaulan sosial dan dialog dengan pelbagai komponen bangsa Indonesia yang majmuk, tentu saja tidak terbatas pada satu agama atau suku semata.  Sementara, ukhuwah basyariyah adalah persaudaraan yang paling mendasar sebagai manusia yang lahir dari bapak dan ibu yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Ini  prinsip dan landasan untuk membangun persaudaraan manakala ukhuwah Islamiyah atau ukhuwah wathaniyah tak lagi mengikat dengan kuat. 

Eratnya tiga ukhuwah dalam diri umat sehingga tercipta persatuan dan kesatuan akan terbangun ukhuwah insaniyah. Sebuah persaudaraan yang dapat membangun peradaban manusia. 

Allahu akbar 3X Walillahi al hamdu

Jamaah Idul Fitri yang berbahagia... 

Persaudaraan harus dibangun atas landasan cinta kasih. Cinta kasih dalam doktrin ajaran agama Islam bukanlah cinta kasih dalam artian sempit yang hanya terbatas pada kerabat dekat, ras, suku, golongan atau kelompok tertentu, tetapi cinta kasih dalam Islam bersifat universal (menyeluruh) yang mencakup semua makhluk ciptaan Allah, tanpa harus ada sekat-sekat atau dinding pemisah apapun namanya. Nabi Muhammad SAW bersabda: 

لَنْ تُؤْمِنُوْا حَتّى تَرْحَمُوْا قَالُوا ياَ رَسُوْلَ اللهِ كُلُّناَ رَحِيْمٌ, قَالَ إِنَّهُ لَيْسَ بِرَحْمَةِ أَحَدِكُمْ وَلَكِنَّهَا رَحْمَةُ العاَمَّةِ.(رواه البخاري)

Artinya: “Tidak akan sempurna iman kalian sehingga kalian menyayangi. para sahabat berkata: Yarasulullah kami semua sudah saling menyayangi. Nabi saw bersabda: Bahwa sayang yang dimaksud bukan sayang sekedar sayang kepada salah seorang diantara kamu, tetapi sayang (yang dimaksud) ialah sayang yang bersifat universal.” (HR Bukhari). 

Cinta dan kasih sayang adalah kebutuhan semua makhluk, khususnya manusia sebagai makhluk sosial. Seorang hamba butuh kasih sayang Tuhannya, anak butuh kasih saying ibu, murid butuh kasih sayang guru, istri butuh kasih sayang suami, karyawan butuh kasih sayang bosnya, pembantu butuh kasih sayang majikannya, yang muda butuh kasih saya yang tua dan demikian seterusnya. Karenanya, seseorang tidak mungkin bisa hidup tanpa kasih sayang. Betapa berartinya kasih sayang itu, sampai-sampai Allah SWT menyebutkan nama diri setalah nama Allah ialah nama Yang Mahapengasih (Ar Rahman) dan Yang Mahapenyayang (Ar Rahim).  Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah dua nama Allah yang amat dominan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement