Sabtu 14 Oct 2023 21:44 WIB

Jika Memang Ada Alien di Luar Angkasa Lebih Cerdas, Mengapa Manusia yang Jadi Khalifah?

Alquran mengisyaratkan adanya kehidupan di luar planet bumi

Alam semesta (ilustrasi). Alquran mengisyaratkan adanya kehidupan di luar planet bumi
Foto:

Oleh : Prof KH Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal

Alam mineral merupakan lokus paling sederhana dapat menerima penampakan tersebut, lalu disusul oleh tumbuh-tumbuhan, binatang, dan makhluk-makhluk spiritual. 

Lagi pula, semua unsur alam lain ada pada diri manusia, seperti di dalam tubuh manusia ada unsur mineral (tanah dan air), tumbuhtumbuhan, dan binatang. 

Dari sisi spiritual manusia juga memilikinya. Bahkan, tidak tanggung- tanggung, Allah SWT sendiri yang meniupkan ruh-Nya ke dalam diri Adam. Dengan demikian, secara lahir dan batin manusia merupakan ciptaan terbagus. Di dalam Alquran, surah Shad ayat 75, secara eksplisit Allah SWT menciptakan manusia lengkap dengan kedua tangan-Nya. Dalam surat tersebut Allah SWT berfirman: 

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ۖ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ 

“Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orangorang yang (lebih) tinggi?’’

Manusia disebut sebagai lokus penampakan asma Allah karena ia dapat memantulkan secara sempurna semua asma Allah SWT. Sedangkan makhluk-makhluk lainnya hanya bisa memantulkan sebagian. 

Manusia bisa mamantulkan asma Allah SWT, termasuk nama-nama aktif-Nya yang terkesan saling berlawanan satu sama lain. Seperti asma Yang Mahaindah (al-Jamal) dan Yang Mahaagung (al-Jalal), Yang Mahalembut (al- Lathif) dan Yang Mahapemaksa (al-Qahhar), serta Yang Mahapemberi Manfaat (al-Nafi’) dan Yang Mahapemberi Bahaya (al-Dhar)

Alam mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan malaikat tidak mengenal dosa dan maksiat karena itu sulit kita membayangkan mereka dapat memantulkan sifat-sifat Allah Yang Mahapemaaf (al-‘Afuw), Yang Mahapenerima Tobat (al-Tawwab), dan Yang Mahapengampun terhadap segala dosa (al-Gafur). 

Dari sudut pandang inilah, Sayyid Husain Nasr menyebut manusia sebagai satu-satunya makhluk teomorfis atau makhluk eksistensialis, yang bisa turun naik martabatnya di mata Tuhan. Dari sudut pandang ini juga, al-Jilli melihat manusia sebagai makhluk paripurna atau insan kamil (akan dibahas dalam artikel mendatang). 

photo
Unsur penciptaan manusia menurut Alquran (ilustrasi) - (republika)

Manusia bisa melejit sampai ke puncak di atas dari segala puncak, seperti disimbolkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam kisah Isra Mi’raj-nya yang sampai ke Sidratul Muntaha, di mana sang Ji bril sendiri meminta maaf kepada Nabi Muhammad tidak bisa mendampinginya ke puncak karena “energi”-nya sudah tidak sanggup lagi mendaki. Sebaliknya, manusia juga bisa tergelincir jatuh ke lembah paling hina (asfala safilin), sebagaimana diisyaratkan dalam Alquran: 

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayatayat Allah) dan mereka mempu nyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan me reka mem punyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk men dengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai bina tang ternak, bah kan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS al-A’raf [7]: 179).

Ayat ini menggambarkan kepada kita betapa manusia itu sangat riskan dalam menjalani kehidupannya. Ada kalanya naik, statis di tempat, dan ada kalanya jatuh ke bawah. Tergantung seberapa jauh manusia bisa mengidentifikasikan diri dengan sifat-sifat dan namanama Allah SWT. 

Baca juga: Ini Peperangan yang Dimenangkan Romawi Sebagaimana Dikabarkan Alquran Surat Ar Rum

 

Manusia paripurna (insan kamil) inilah yang merupakan khalifah sesungguhnya. Menurut Ibnu Arabi, manusia yang tidak sampai kepada derajat kesempurnaan (rutbah al-kamal) adalah binatang yang menyerupai manusia dan tidak layak menyandang predikat khalifah, bahkan tidak layak menyandang gelar insan. 

Yang layak menyandang predikat insan kamil dan sekaligus menyandang posisi khalifah adalah para nabi dan wali. Namun, bagi me reka yang belum mencapai mar tabat tersebut tetap tidak boleh putus asa karena masih terbuka pintu lebar bagi manusia untuk meraih gelar tersebut. 

Upaya mencapai predikat insan kamil menurut para sufi ialah mencontoh sifat-sifat Tuhan, sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad, “Takhallaqu bi akhlaqillah (Berakhlaklah sebagaimana akhlak nya Allah).” Di samping itu, kita juga diminta mencontoh dan meneladani akhlak Nabi Muhammad. 

Hal ini oleh Aisyah disebutkan, “Kana khulquhu Al-Qur’an (Akhlak Nabi ialah Alquran).” Di sinilah keterkaitan para sufi dengan syariat karena tidak mungkin seseorang bisa sampai ke puncak tanpa melewati syariat sebagai pintu gerbang utama. 

 

Seseorang yang berusaha untuk meneladani Tuhan dalam sifat-sifat- Nya, digambarkan oleh seorang filsuf Muslim Ibnu Sina. Orang itu akan selalu bergembira dan banyak tersenyum karena hati nya telah dipenuhi kegembiraan sejak ia mengenal Tuhannya. Di mana-mana ia melihat hanya satu, yaitu kebenaran, melihat Yang Mahabenar lagi Mahasuci itu.  

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement