Pertama, bahwa sesungguhnya tauhid/keimanan setiap insan telah ada, jauh sebelum dilahirkan ke alam dunia, Allah SwT berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”, (QS. Al-A’raf: 172).
Namun karena pengaruh keluarga, lingkungan, atau bahkan pergaulan, bacaan hingga medsos, sehingga mereka menjadi majusi atau penyembah api, menjadi nasrani, yahudi, agnostik maupun ateis sekalipun.
Kedua, hikmah berikutnya, bahwa tidak adanya paksaan dalam beragama atau menjadi seorang muslim, tidak lain ialah agar manusia menggunakan potensi akal fikirannya, sehingga ketika melaksanakan wujud keimanannya atau saat mengamalkan Islam, ia tidak melakukannya kecuali dengan tulus, ikhlas, penuh rasa cinta dan kesadaran.
Ketiga, beragama atau menjadi muslim merupakan kebutuhan manusia itu sendiri. Bahwa seseorang menjadi taat maupun kafir, hal itu tidak ada pengaruhnya bagi Kemuliaan dan Keagungan Tuhan.
Sekiranya semua orang, baik yang terdahulu hingga yang terakhir, baik dari kalangan manusia dan jin, mereka semua menjadi bertakwa, hal itu tidak akan menambah kekuasaan-Allah SwT sedikit pun. Begitu pula, jika semua orang, baik yang terdahulu hingga yang terakhir, baik dari kalangan manusia dan jin, mereka semua menjadi berhati jahat, hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan-Nya sedikit pun jua.