REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Banjir yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir kembali menjadi pengingat kuat akan pesan Alquran dalam Surah Ar-Rum ayat 41. Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Artinya: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS Ar-rum [30]: 41).
Para ulama memandang ayat ini sebagai penegasan bahwa bencana lingkungan tidak lepas dari ulah manusia yang merusak keseimbangan alam.
Ibnu Katsir menafsirkan kata fasad sebagai segala bentuk kerusakan yang menurunkan keberkahan di darat maupun laut, baik berupa bencana maupun buruknya hasil pertanian dan kehidupan. Al-Qurthubi menambahkan, kerusakan itu mencakup tindakan manusia yang menyalahi aturan Allah, termasuk kerusakan ekologis.
Menukil Tafsir Tahlili Kemenag, dalam ayat ini juga diterangkan bahwa telah terjadi al-fasad di daratan dan lautan. Al-Fasad adalah segala bentuk pelanggaran atas sistem atau hukum yang dibuat Allah, yang diterjemahkan dengan “perusakan”.
Perusakan itu bisa berupa pencemaran alam sehingga tidak layak lagi didiami, atau bahkan penghancuran alam sehingga tidak bisa lagi dimanfaatkan. Di daratan, misalnya, hancurnya flora dan fauna, dan di laut seperti rusaknya biota laut. Juga termasuk al-fasad adalah perampokan, perompakan, pembunuhan, pemberontakan, dan sebagainya.
Perusakan itu terjadi akibat prilaku manusia, misalnya eksploitasi alam yang berlebihan, peperangan, percobaan senjata, dan sebagainya. Perilaku itu tidak mungkin dilakukan orang yang beriman dengan keimanan yang sesungguhnya karena ia tahu bahwa semua perbuatannya akan dipertanggungjawabkan nanti di depan Allah.
Jika ditarik ke kondisi saat ini, kerusakan itu juga tampak dalam bentuk deforestasi massif di hulu sungai, maraknya alih fungsi lahan, sedimentasi sungai akibat pembukaan kawasan secara tidak terkendali, serta menumpuknya sampah di drainase dan bantaran sungai.
Kondisi tersebut membuat sejumlah daerah di Sumatera—seperti Sumatera Barat, Riau, Aceh, dan sebagian wilayah Sumatera Selatan—menjadi sangat rentan terhadap banjir ketika curah hujan meningkat.
Alam merespons hilangnya keseimbangan tersebut dengan cara yang kini dirasakan masyarakat sebagai musibah banjir dan tanah longsor. Dalam perspektif ayat ini, musibah itu bukan sekadar fenomena meteorologis, tetapi peringatan spiritual agar manusia melihat kembali jejak perbuatannya terhadap lingkungan.
Allah menghendaki agar manusia merasakan “sebagian dari akibat perbuatan mereka”, bukan untuk menghukum, tetapi sebagai bentuk tadzkirah—peringatan yang menggugah kesadaran.
Hal ini berarti bahwa Allah sayang kepada manusia. Seandainya Allah tidak sayang kepada manusia, dan tidak menyediakan sistem alam untuk memulihkan kerusakannya, maka pastilah manusia akan merasakan seluruh akibat perbuatan jahatnya.
Seluruh alam ini akan rusak dan manusia tidak akan bisa lagi menghuni dan memanfaatkannya, sehingga mereka pun akan hancur. Allah berfirman:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّٰهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوْا مَا تَرَكَ عَلٰى ظَهْرِهَا مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّلٰكِنْ يُّؤَخِّرُهُمْ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِعِبَادِهٖ بَصِيْرًا ٤٥ (فاطر)
Artinya: "Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di bumi ini, tetapi Dia menangguhkan (hukuman)-nya, sampai waktu yang sudah ditentukan. Nanti apabila ajal mereka tiba, maka Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya." (QS al-Fatir [35]: 45).
Dengan penimpaan kepada mereka sebagian akibat perusakan alam yang mereka lakukan, Allah berharap manusia akan sadar. Mereka tidak lagi merusak alam, tetapi memeliharanya. Mereka tidak lagi melanggar ekosistem yang dibuat Allah, tetapi mematuhinya. Mereka juga tidak lagi mengingkari dan menyekutukan Allah, tetapi mengimani-Nya.
Musibah seperti banjir di Sumatra menjadi momen muhasabah kolektif, agar pengelolaan alam lebih beretika, penggunaan ruang lebih bijak, dan tanggung jawab sebagai khalifah bumi kembali ditegakkan.
Dengan demikian, Surat Ar-Rum ayat 41 memberikan kacamata spiritual bagi umat Islam bahwa bencana tidak hanya harus direspons secara teknis, tetapi juga sebagai refleksi moral, mendorong masyarakat dan pemerintah memperbaiki tata kelola lingkungan demi mencegah kerusakan lebih jauh.