REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tradisi menyebut Hari Minggu dengan Ahad sudah berlangsung sejak masa pra-Islam. Ahad berasal dari bahasa Arab “ahad” (أحد) yang berarti satu atau pertama.
Penyebutan ini didasarkan pada urutan hari dalam penanggalan Arab yang berakar dari sistem waktu sejak masa pra-Islam (Jahiliyah) dan kemudian dilestarikan dalam budaya Islam.
Hari Ahad dianggap sebagai hari pertama dalam sepekan, diikuti oleh Itsnayn (Senin), Thulāthā’ (Selasa), Arbi‘ā’ (Rabu), Khamīs (Kamis), Jumu‘ah (Jumat), dan Sabt (Sabtu).
Menurut Ibn Katsir dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah, bangsa Arab sebelum Islam telah mengenal urutan hari dalam sepekan. Namun, penamaan mereka sebelumnya juga dipengaruhi oleh kebudayaan Yahudi dan Nasrani, terutama untuk hari Sabt (Sabtu) dan Ahad (Minggu), karena mereka hidup berdampingan dengan komunitas Yahudi dan Kristen di Jazirah Arab.
Dalam Akhbār al-‘Arab al-Qudamā’ karya al-Hamzani, disebutkan bahwa beberapa kabilah di Arabia Selatan seperti Himyar dan Kindah, percaya bahwa memulai sesuatu di hari Ahad mendatangkan barakah duniawi — seperti keberhasilan berdagang atau kemenangan dalam peperangan. Keyakinan ini lebih bersifat mistik dan tidak berdasarkan wahyu.
Himyar adalah salah satu peradaban kuno yang berkembang di Jazirah Arab, tepatnya di wilayah Yaman Selatan, sekitar abad ke-2 SM hingga abad ke-6 M. Peradaban ini dikenal dengan nama Kerajaan Himyar atau Himyarit, yang mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-3 hingga ke-6 Masehi.
Ibu kota utama mereka adalah Zafar, dan mereka memiliki sistem pemerintahan monarki dengan raja sebagai pemimpin tertinggi. Himyar terkenal dengan arsitektur dan sistem irigasi yang canggih, serta perdagangan yang luas dengan wilayah-wilayah sekitarnya, termasuk Romawi dan India.
Peradaban Himyar juga memiliki sistem kepercayaan yang beragam, termasuk paganisme, Yahudi, dan Kristen. Salah satu raja terkenal dari Himyar adalah Dhu Nuwas, yang memerintah pada awal abad ke-6 M dan dikenal karena serangannya terhadap komunitas Kristen di Najran.