REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rasulullah dikenal sebagai sosok yang sangat menghargai waktu. Dia tidak pernah membiarkan satu hari berlalu tanpa amal yang bermanfaat.
Dalam hadis riwayat al-Bukhari disebutkan,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua nikmat yang sering dilalaikan manusia: kesehatan dan waktu luang” (HR. al-Bukhari, no. 6412). Hadis ini menjadi dasar bagaimana Rasulullah memandang waktu sebagai amanah besar yang harus digunakan untuk kebaikan dunia dan akhirat.
Waktu luang adalah waktu yang tersedia di luar kewajiban atau tugas sehari-hari, seperti bekerja, sekolah, atau tugas rumah tangga. Seseorang dapat menggunakannya untuk beristirahat, bersantai, mengejar hobi, dan melakukan kegiatan yang dinikmati secara sukarela.
Bukan untuk bermalas-malasan
Waktu luang bagi Nabi Muhammad bukanlah saat untuk bermalas-malasan, tetapi kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, Nabi sering mengisi waktu senggangnya dengan zikir dan doa, terutama setelah shalat. Dzikir yang paling sering dia baca antara lain tasbih, tahmid, dan takbir, sebagai bentuk syukur dan ketenangan batin.
Selain ibadah ritual, putra Abdullah juga mengisi waktu luangnya dengan mendalami ilmu dan mengajarkan wahyu kepada para sahabat. Dalam kitab Siyar A‘lam al-Nubala’ karya adz-Dzahabi disebutkan bahwa waktu malam dia tidak hanya digunakan untuk qiyamul lail, tetapi juga untuk memberi nasihat dan pesan keagamaan kepada sahabat yang datang bertanya. Dengan begitu, waktu senggangnya menjadi ladang dakwah yang produktif.
Membantu menyelesaikan pekerjaan rumah
Cucu Abdul Muthalib ini juga dikenal memiliki keseimbangan antara ibadah, keluarga, dan masyarakat. Dalam riwayat Aisyah r.a. (HR. al-Bukhari, no. 6039), disebutkan bahwa di rumah Nabi Muhammad membantu pekerjaan keluarga, menjahit pakaian, memperbaiki sandal, dan melayani kebutuhan istri-istrinya.