Selasa 05 Nov 2024 19:08 WIB

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas memiliki kedudukan penting dalam Islam.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Berbuat ikhlas agar umat Islam tidak menjadi umat penyembah berhala. (ilustrasi)
Foto: www.moslemsubang.wordpress.com
Berbuat ikhlas agar umat Islam tidak menjadi umat penyembah berhala. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Ulama dan cendikiawan asal Turki, Badiuzzaman Said Nursi (1878-1960 M) menjelaskan ayat Alquran dan hadits Nabi yang menunjukkan pentingnya kedudukan ikhlas dalam Islam. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman

اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللّٰهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَۗ  () اَلَا لِلّٰهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ ۗ

Baca Juga

"Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab (Alquran) kepadamu (Muhammad) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik)..." (QS Az-Zumar [39]:2-3)

Rasulullah SAW. bersabda:

 "ﻫَﻠَﻚَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺇﻟَّﺎ ﺍﻟْﻌَﺎﻟِﻤُﻮﻥَ ﻭَﻫَﻠَﻚَ ﺍﻟْﻌَﺎﻟِﻤُﻮﻥَ ﺇﻟَّﺎ ﺍﻟْﻌَﺎﻣِﻠُﻮﻥَ ﻭَﻫَﻠَﻚَ ﺍﻟْﻌَﺎﻣِﻠﻮُﻥَ ﺇﻟَّﺎ ﺍﻟْﻤُﺨْﻠِﺼُﻮﻥَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺨْﻠِﺼُﻮﻥَ ﻋَﻠٰﻰ ﺧَﻄَﺮٍ ﻋَﻈِﻴﻢٍ".

“Manusia sungguh celaka kecuali yang berilmu. Yang berilmu juga celaka kecuali yang mengamalkan ilmunya. Yang mengamalkan ilmunya juga celaka kecuali yang ikhlas. Dan orang yang ikhlas dihadapkan pada bahaya besar.”

"Ayat dan hadis di atas menunjukkan betapa pentingnya kedudukan ikhlas dalam Islam. Ia menjadi landasan utama dalam semua urusan agama," ujar Nursi dari bukunya yang berjudul Al-Lamaat terbitan Risalah Nur Press halaman 286.

Dari sekian banyak hal yang terkait dengan ikhlas, Nursi pun secara singkat menyebutkan lima poin. Poin pertama, yaitu ada sebuah pertanyaan penting sekaligus mengherankan,

“Mengapa para pemuka agama, para ulama, dan para ahli tarekat sufi―padahal mereka orang-orang yang mendapat petunjuk, taufik, dan restu dari-Nya―bersaing dan bertikai satu sama lain, sementara para ahli dunia dan orang-orang lalai―bahkan juga kaum sesat dan munafik―justru bisa bersatu tanpa ada pertikaian dan kedengkian di antara mereka? Padahal keharmonisan seharusnya menjadi milik kelompok yang mendapat taufik, dan pertikaian milik kaum munafik dan jahat? Bagaimana mungkin kebenaran dan kebatilan itu bertukar posisi?”.

Sebagai jawabannya, dalam karyanya itu Nursi menjelaskan tujuh saja dari banyak faktor yang menyebabkan timbulnya kondisi menyedihkan ini. Faktor pertama adalah perpecahan di antara ahlul haq bukan karena mereka tidak berpegang pada kebenaran. Demikian pula keharmonisan dan persatuan kaum yang sesat bukan karena mereka tunduk pada kebenaran.

Akan tetapi, menurut Nursi, tugas dan pekerjaan orang yang berkecimpung dalam kesibukan duniawi, politik, keilmuan, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya sudah jelas dan berbeda satu sama lain. Setiap kelompok, perkumpulan, dan lembaga memiliki tugas masing-masing dan tentunya upah materi yang mereka dapatkan atas pekerjaan mereka itu juga sudah jelas dan berbeda satu dengan yang lain.

Upah maknawi yang mereka dapatkan, seperti penghargaan, citra, dan popularitas, begitu jelas, spesifik, dan berbeda satu dengan yang lain. Dengan demikian, tidak ada yang menjadi penyebab timbulnya persaingan, pertikaian, atau kedengkian di antara mereka. Juga, tidak ada alasan bagi mereka untuk berdebat dan bertikai. Karena itulah, mereka bisa harmonis meskipun sedang meniti jalan yang salah.

Adapun tugas para pemuka agama, para ulama, dan ahli tarekat sufi tertuju kepada seluruh masyarakat. Upah duniawi mereka tidak pasti. Kedudukan sosial dan penghargaan yang mereka dapatkan pun tidak jelas. Ada banyak calon bagi sebuah kedudukan di kalangan ahlul haq serta ada banyak tangan yang menginginkan upah materi maupun maknawi dari kedudukan itu.

"Dari sini muncullah pertikaian, persaingan, kedengkian, dan kecemburuan. Akibatnya, keharmonisan berubah menjadi kemunafikan, dan persatuan berubah menjadi perpecahan," jelas Nursi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement