Namun, yang mengherankan adalah bahwa terlepas dari keragaman dan kejelasan dalil-dalil pada bagian ini, para ahli tafsir dan penulis lainnya berselisih pendapat tentang tasbih yang dinisbatkan kepada makhluk: Apakah dalam bentuk perkataan atau perbuatan?
Beberapa orang berpendapat bahwa referensi Alquran tentang tasbih segala yang ada di langit dan bumi kepada Allah adalah pujian metaforis, yaitu tasbih dalam bahasa gerakan, bukan dalam bahasa yang diucapkan.
Namun, beberapa di antaranya mengkhususkan kategori itu terhadap tasbih untuk makhluk-makhluk yang tidak berakal. Sementara aitu, tasbihnya makhluk-makhluk berakal, yaitu malaikat, manusia, dan jin adalah kata-kata yang nyata, dan tasbihnya hewan-hewan yang tidak berakal, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda mati adalah kata-kata kiasan.
Sebagian dari mereka ada yang merincikan maksud tasbihnya makhluk yang tidak bernyawa, dengan mengatakan bahwa tasbihnya binatang -baik yang berbicara maupun yang tidak berbicara- adalah nyata, sedangkan yang berbicara sudah dimaklumi sementara yang tidak berbicara dapat kemungkinan tasbih nya dengan suaranya saja. Sedangkan yang bukan hewan, seperti benda mati, memiliki maksud tasbihnya adalah metaforis.
Sebagian dari mereka menolak pembedaan ini, dengan mengatakan bahwa tasbih yang dinisbatkan kepada makhluk harus dianggap sebagai metafora, dan tidak boleh ada pembedaan antara yang berakal dan yang tidak berakal, atau antara hewan dan bukan hewan, agar tidak terjadi penggabungan antara metafora dan realitas dalam satu kata.
Sebagian dari mereka lebih memilih akomodatif, dengan mengatakan bahwa orang yang berakal bertasbih dengan dua cara yaitu perkataan dan perbuatan. Sementara yang tidak berakal hanya bertasbih dengan perbuatan, karena tidak mungkin baginya bertasbih dengan lisan, maka bertasbih dengan perbuatan merupakan takdir umum bagi semua makhluk).