Jumat 02 Jun 2023 15:08 WIB

Hikmah Kisah Pemilik Kebun di Surat Al Kahfi

Kisah populer lain di Surah Al-Kahfi adalah kisah pemilik kebun.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Hafil
 Hikmah Kisah Pemilik Kebun di Surat Al Kahfi. Foto:  Perkebunan bunga mawar di Taif, Arab Saudi.
Foto: arab news
Hikmah Kisah Pemilik Kebun di Surat Al Kahfi. Foto: Perkebunan bunga mawar di Taif, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisah populer lain di Surah Al-Kahfi adalah kisah pemilik kebun. Kisah ini dimulai dengan ayat: “dan sampaikan perumpamaan dua pria. Salah satunya Kami jadikan baginya kebun-kebun dari anggur.

Imam Masjid New York Shamsi Ali menceritakan kisah tentang dua pria yang berbeda status sosial ini disampaikan secara gamblang dan luas di surah ini, dimulai dari ayat 32 hingga ke ayat 59. Menariknya bahwa ayat-ayat yang terkait dengan kisah fitnah dunia ini kemudian dikaitkan dengan perilaku manusia dalam hidup dunianya, termasuk kelalaian manusia dari dzikrullah.

Baca Juga

Bahkan ayat-ayat terakhir dari rangkaian kisah ini menggambarkan betapa kehidupan ukhrawi sebagai tempat pertanggung jawaban kehidupan masa lalu (dunia) banyak ditentukan oleh bagaimana manusia menyikapi kehidupan dunianya.

Bahwa betapa kehidupan dunia ini, yang pastinya penting, justeru sering melenceng dari yang seharusnya sebagai jembatan kebahagiaan ukhrawi menjadi fitnah yang mengantar kepada kebinasaan.

 

Ada beberapa fakta tentang dunia yang harus kita sadari.

Pertama, dunia itu perlu dan penting. Perlu dan penting karena di sinilah tempatnya menusia menentukan hari depan abadinya. Karenanya dunia disebut “mustaqar” tempat tinggal. Bahkan tempat tinggal yang bercirikan “mataa’ (kesenangan). Realita ini dalam bahasa haditsnya disebut dengan “mazra’ah” atau tempat menanam. Karenanya ungkapan “dunia tidak penting” seringkali disalah pahami dan menyesatkan. Menjadikan sebagian orang Islam malas, dan tidak memiliki motivasi kesuksesan “hasanah” dunianya.

Kedua, walaupun kehidupan ini penting, kenyataan lain yang harus diketahui adalah bahwa dunia “bukan tujuan”. Karenanya ayat tentang dunia sebagai tempat tinggal (mustaqar) diikat dengan peringatan “hingga waktu yang ditentukan” (ilaa hiin).

Berbagai ayat maupun hadits mengingatkan akan realita ini. Salah satunya adalah ayat yang populer di Surah Ar-Rahman: “semua yang ada di atas dunia ini berakhir” (faanin). Karenanya dengan segala Urgensinya dunia tetap harus ditempatkan pada tempatnya sebagai jembatan, bukan destinasi.

Ketiga, fakta lain dari dunia ini adalah “atraksi” (zuyyina atau Ziinah) yang sangat kuat. Hal ini juga dikuatkan dengan fakta bahwa manusia memiliki dorongan hawa nafsu (ahwaa) dunia yang tinggi. Maka ketika keduanya bersentuhan tanpa kemampuan pengekangan (nahaa an-nafs) darinya maka manusia akan terjatuh kepada penyembahan hawa nafsu (ittkhadza ilaahahu hawaah). Di saat itulah akan terjadi prilaku “melampaui batas” (thugyaan). Yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan di bumi dan di laut (zhoharal fasadu fil barri wal bahri).

 

Keempat, ketika berbicara tentang kehidupan dunia, maka ada kata spesifik yang disebut “rezeki”. Rezeki itu luas defenisinya. Semua bentuk karunia. Bisa banyak, bisa sedikit. Ketentuannya di tangan Pencipta (yarzuqu man yasyaa). Karenanya persoalan manusia dengan rezeki bukan berapanya (kwantitasnya). Karena pastinya semua mau yang terbanyak. Persoalan rezeki lebih kepada “kualitas”. Dan kualitas rezeki itu ada pada “dari mana” dan “kemana”’(min aina iktasabah wa ilaa aena anfaqah).

Pada akhirnya kisah pemilik kebun di surah Al-Kahf itu mengajarkan kepada kita banyak hal. Betapa dunia itu adalah fitnah (cobaan) yang dahsyat. Tidak saja mampu menggelincirkan pemiliknya kepada kehancuran dunianya itu sendiri. Tapi yang lebih penting adalah dapat menghancurkan kehidupan ruhiyah manusia, yang mengantar kepada kehancuran dunianya dan kebinasaan di akhirat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement