REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ulama ahli tafsir Indonesia, Prof M Quriash Shihab menjelaskan hukuman bagi orang yang murtad, yakni orang yang keluar dari Islam. Terkait ini, menurut dia, para ulama berbeda pendapat.
“Apakah yang murtad memang harus dibunuh? Di sini ulama berbeda pendapat,” kata Quraish Shihab dalam buku terbarunya yang berjudul Toleransi: Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keberagamaan terbitan Lentera Hati.
Dia pun mengungkapkan beberapa fakta yang menunjukkan bahwa orang murtad tidak wajib untuk dihukum mati atau dibunuh, kecuali dalam kondisi tertentu.
Pertama, dia menjelaskan bahwa tidak ada satu ayat Alquran pun dari sebelas ayat yang berbicara tentang yang murtad yang menyebut bahwa hukumannya dijatuhkan di dunia ini, tidak ada satu ayat pun yang menyatakan demikian, apalagi menyatakan bahwa dia harus dibunuh. Bacalah misalnya QS al-Baqarah (2): 217 dan QS al-Maidah (5):54.
Kedua, menurut M Quraish, dalam praktik kehidupan Rasulullah SAW, sekian orang keluar dari Islam. Tetapi, Rasulullah SAW tidak memerintahkan agar dia dibunuh, antara lain Abdullah bin Sarh yang tadinya merupakan penulis wahyu, tapi dia murtad. Sayyidina Umar ra pun tercatat pernah hanya mengusir seorang yang bernama Abu Syajarah yang murtad.
Ketiga, memang ada hadits yang menyebutkan bahwa yang meninggalkan agamanya dibunuh.
Teks hadits itu berbunyi,
لاَ يَحِلُّ دَمُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ
Artinya: “Tidak diperkenankan menumpahkan darah (membunuh) seorang muslim kecuali karena satu dari tiga hal, yakni yang meninggalkan agamanya dan memecah belah masyarakat, pezina yang telah menikah, dan membunuh jiwa tanpa hak.” (HR Bukhari dan Muslim).
Sabda nabi di atas yang mengaitkan keluar dari Islam dengan memecah belah masyarakat, menunjukkan bahwa hukuman mati bagi yang murtad itu haruslah berpotensi mengakibatkan perpecahan masyarakat dan gangguan keamanan.
Maka, menurut Quraish Shihab, jika hal yang demikian tidak terjadi, orang yang murtad tidak boleh dibunuh. Sanksinya ketika itu diserahkan kepada kebijakan pemerintah.
“Demikian pandangan dan fatwa banyak ulama kontemporer, karena itu pembunuhan terhadap yang murtad bukan karena kemurtadannya, tetapi karena sikapnya yang demikian jelas dapat menggoyahkan sendi-sendi keutuhan masyarakat dan menganggu kehidupan beragama dan ketenteraman umum,” jelas Quraish Shihab.
Menurut dia, di sinilah berlaku kebijakan pemerintah untuk menilai seberapa besar kemurtada itu berdampak buruk terhadap masyarakat dan agama. Selanjutnya, kata dia, harus dicatat juga bahwa menilai seseoran telah keluar dari agama, bukanlah satu persoalan yang mudah.
Kalaupun telah ditemukan 99 persen bukti kemurtadannya, seseorang belum dapat dinilai telah murtad. “Selanjutnya kalaupun telah dinilai murtad 100 persen, dia masih diberi kesempatan untuk meninjau pendapatnya atau berdiskusi dalam waktu yang cukup,” kata Quraish Shihab.