Selasa 26 Apr 2022 03:29 WIB

Beragam Tafsir Al-Maidah Ayat 51

Kumpulan tafsir atas ayat tersebut yang diambil dari 40 ulama tafsir ternama

Ilustrasi Alquran
Foto: pxhere
Ilustrasi Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, Ayat ini menjadi fenomenal terutama akibat konstalasi politik menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017. Ayat yang menjadi objek dalam kasus penistaan agama ini memicu demonstrasi damai besar-besaran di Jakarta. Lautan manusia ketika itu turun ke jalan menuntut keadilan.

Beragam pertanyaan pun mengemuka kepada segenap ahli tafsir. Bagaimana menjelaskan ayat yang secara harfiah berarti, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi aulia. Sebagian dari mereka adalah aulia dari sebagian yang lain. Barang siapa kamu menjadikan mereka aulia, sesungguhnya dia termasuk sebagian dari mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."

Baca Juga

Kata aulia yang kala itu ditafsirkan sebagian besar masyarakat sebagai pemimpin membuat salah satu kandidat dalam pilkada tersebut mengeluarkan pertanyaan kontroversial. Prof Quraish Shihab dalam buku Al Maidah 51, Satu Firman Beragam Penafsiran mengungkap kumpulan tafsir atas ayat tersebut yang diambil dari 40 ulama tafsir ternama.

Penulis mengumpulkan karya-karya mereka dari ulama klasik yang hidup pada abad ke-9 hingga mufasir abad ke-20. Nama-nama, seperti Ath-Thabari (839-923), At-Tabrisi (1073- 1154), Ibnu Al Jauzi (1114-1201), Ibnu Taimiyah (1263-1328), Ibnu Katsir (1301-1373), Rasyid Ridha (1865-1935), HAMKA (1908-1981), Wahbah Az-Zuhaili (1932-2015), dan ulama-ulama tafsir lainnya—juga tafsir dari Kementerian Agama (40)—yang kerap menjadi referensi beragam mazhab masuk dalam buku ini.

 

Bilangan 40 dipilih penulis karena merujuk pada banyaknya persoalan yang dibahas Alquran dan sunah dengan angka itu. Contohnya, usia kesempurnaan manusia adalah 40 tahun (QS al- Ahqaf: 3). Dalam sunah, bisa dicontohkan keutamaan shalat 40 waktu di Masjid Nabawi (HR Ahmad).

Penulis tidak sekadar mengutip karya mereka, tapi juga menjelaskan sekelumit latar belakang kehidupan para ulama ini sehingga pembaca bisa memahami suasana batin sang penafsir saat menjelaskan ayat tersebut.

Ambil contoh Sayyid Quthb yang menulis tafsir Fizalil Quran di dalam penjara. Ulama yang juga merupakan aktivis pergerakan Ikhwanul Muslimin ini mengungkap jika ayat-ayat Alquran membuka kedok dan penyimpangan musuhmusuh Islam. Tujuannya agar kaum Muslimin tahu hakikat sebenarnya lawan yang mereka hadapi.

Menurut Sayyid Quthb, kata al wilayah berarti bantu-membantu dan janji setia untuk saling mendukung. Karena itu, larangan ini tidak dalam konteks mengikuti ajaran agama mereka. Sebelum dan pada masa awal kehadiran Islam, kelompok-kelompok Yahudi memang bekerja sama dengan kaum Muslimin. Setelah turunnya ayat tersebut, Allah melarangnya karena terbukti tidak mungkin akan terjadi wala' (kedekatan), tahaluf (janji setia untuk saling membela), dan tanashur (tolong-menolong).

Bagaimana dengan Rasyid Ridha? Ulama yang dikenal toleran ini mengungkapkan, larang an ini bukan disebabkan oleh adanya larangan dalam prinsip ajaran Islam (ushuluddin) yang mencegah umat bekerja sama (tahaluf) dengan orang yang berbeda keyakinan dengan mereka. Larangan ini hanya untuk pribadi atau kelompok kaum Muslimin sebagai pengecam sikap orang-orang yang sakit jiwanya. Mereka menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai kepanjangan tangan mereka.

Setelah membahas 40 ulama tersebut, Quraish Shihab memberi kesimpulan tentang arti wala' dan auliya'. Dia juga menyimpulkan konteks ayat ini dengan pemilihan pemimpin dan pemilih an pemimpin non-Muslim.

Penulis menjelaskan, makna muwalah bukan persahabatan biasa, melainkan persahabatan dengan satu pihak yang sebelumnya telah dipilih sehingga yang terpilih adalah yang terbaik. Orang yang memilihnya menilainya telah tersingkir dari segala yang buruk.

Buya Hamka dan Departemen Agama menafsirkan aulia dengan kata pemimpin. Menurut penulis, makna ini tidak ditemukan dengan jelas dari uraian para penafsir yang dikutip dalam bagian pertama buku ini. Namun, tafsir ini sejalan dengan salah satu ulama, Abu Zahrah, yang menyatakan bahwa yang terlarang adalah al-intima.

Mengutip Ibnu Taimiyah, penulis menjelaskan, dalam memilih pemimpin, dilihat kekuatan dan kesalehan dalam beragama. Namun, jika ada dua pemimpin yang satu lebih kuat, tetapi keberagamaannya kurang dan sebaliknya, yang wajar dipilih adalah yang kuat. Sebab, kekuatan itu akan bermanfaat bagi masyarakat umum, sedangkan keberagamaan terhubung dengan kemaslahatan pribadi.

Bagaimana dengan pemimpin non-Muslim? Menurut penulis, kaum Muslimin memang dilarang menjadikan seorang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Itu menjadi mutlak jika diduga yang bersangkutan memusuhi Islam dan memiliki wewenang tak terbatas.

Hanya, di sisi lain, penulis mengungkapkan, jawabannya bisa berbeda jika kekuasaan pemimpin itu dikontrol oleh undang-undang. Bagi pendapat pertama, itu terlarang karena betapa pun keberagamaan seseorang, pasti ada pengaruh dalam kebijakannya. Pendapat berikutnya membolehkan dalam masyarakat plural. Di sini dirumuskan tidak ada perbedaan antarwarga negara terhadap haknya masing-masing.

 

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement