REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kitab yang berjudul Bulugh al-Maram min Adillaati al-Ahkam karya Imam Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany sangat terkenal di pesantren-pesantren, khususnya pesantren salafiyah (tradisional). Di samping itu, kalangan mahasiswa ataupun pelajar yang mempelajari tentang hadis-hadis hukum, sangat mengenal kitab ini.
Kitab Bulugh al-Maram ini berisi kumpulan hadis hukum yang dikenal karena bobot dan kualitasnya yang diakui para ulama. Isinya walaupun ringkas dan hanya memuat pokok-pokok hadis hukum, menjadi rujukan penting bagi para ulama di zaman sekarang ini. Bahkan, banyak ulama yang memberikan perhatian khusus terhadap kitab ini dengan memberikan komentar (syarah) dan menguraikan hukum-hukum fikih yang terkandung di dalamnya.
Karena itu, wajarlah bila kitab ini sangat populer di lapisan penuntut ilmu, baik itu ilmu hadis maupun penuntut ilmu yang mendalami mazhab-mazhab fikih Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, dan lain-lain.
Kitab karya Ibnu Hajar al-Asqalany ini merupakan salah satu kitab koleksi hadis hukum yang sangat lengkap. Hadis-hadis yang tertulis di dalamnya, merupakan kutipan atau nukilan dari hadis-hadis hukum yang telah dihimpun oleh kolektor-kolektor hadis sebelumnya, seperti: al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah, Malik, Syafii, Ahmad Bin Hambal, al-Hakim, dan Ibnu Hibban.
Dibanding dengan kitab hadis yang ditulis Imam Bukhari, Imam Muslim, dan para periwayat hadis lainnya, kitab ini tergolong lebih tipis (kecil) sebab hanya memuat sekitar 1596 hadis. Namun demikian, isi kitab Bulugh al-Maram ini sarat muatannya karena menghimpun hadis-hadis yang dikutip dari berbagai kitab hadis.
Seperti kitab fikih lainnya, kitab Bulugh al-Maram ini membahas masalah-masalah fikih yang berkaitan dengan ibadah, melalui pendekatan hadis-hadis ahkam (hukum). Di dalamnya dibahas masalah, antara lain, thaharah (bersuci), shalat, puasa, dan zakat. Dalil-dalil yang dikemukakan berdasarkan dari sumber kitab hadis terpercaya serta dalil-dali Alquran.
Misalnya, tentang bersuci. Secara bahasa, taharah artinya bersuci atau membersihkan diri dari kotoran. Lihat Al-I'lam 1/135, Nailul Author 1/23, dan Al-Mubdi' karya Ibnu Muflih 1/30. Adapun dari segi syara' (istilah), menurut Syekh Ibnu Utsaimin RA, thaharah dapat digunakan dalam dua makna. Pertama, taharah maknawiyah, yaitu membersihkan hati dari kesyirikan dalam beribadah kepada Allah dan membersihkannya dari penipuan dan kedengkian kepada para hamba Allah yang beriman. Kedua, taharah hissiyah atau badaniyah, yaitu membersihkan badan (tubuh) dari segala kotoran.
Merujuk pada hal tersebut, taharah maknawiyah merupakan asal makna dalam thaharah. Karena, thaharah maknawiyah lebih umum dari taharah badaniyah. Dan, taharah badaniyah tidak mungkin terwujud selagi najis kesyirikan masih mengotori thaharah maknawiyah. Lihat syarah Al-Mumti' 1\19 dan Fathu Dzil Jalaly wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram hlm 39-40, keduanya karya Syaikh Ibnu Utsaimin.
Makna thaharah ini sesuai dengan firman Allah dalam surah at-Taubah ayat 28. ''Sesungguhnya kaum musyrikin itu adalah najis.'' (QS at-Taubah: 28). Hadis Nabi SAW mengenai bersuci: ''Sesungguhnya seorang Mukmin itu tidaklah najis.'' (Muttafaqun alaihi dari Abu Hurairah).
Selanjutnya, Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitabnya Bulugh al-Maram ini menerangkan tentang macam-macam taharah, kewajiban bertaharah saat akan melakukan shalat, cara-cara bersuci, dan lain sebagainya. Misalnya, tentang wajibnya bersuci saat akan melaksanakan shalat. Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 6.
''Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.'' (QS al-Maidah: 6).
''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja hingga kalian mandi.'' (QS an-Nisaa: 43).
Dan, dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda: ''Tidaklah diterima shalat tanpa thaharah (bersuci) dan tidak pula sedekah dari ghulul (curian dari harta rampasan perang).'' (HR Muslim).
Demikian juga, dengan pembahasan lainnya, seperti shalat, puasa, dan zakat. Semuanya didasarkan pada dalil-dalil naqli, baik Alquran, hadis Nabi SAW maupun keterangan dari para ulama.
Karena itu, kitab Bulugh al-Maram min Adillati al-Ahkam ini sangat dalam pembahasannya. Sehingga, menambah kepercayaan dan keyakinan hati bagi setiap pribadi Muslim. Kitab ini sangat layak dimiliki setiap Mukallaf (orang Muslim yang sudah terkena beban hukum). Apalagi, penyusun kitab ini (Ibnu Hajar Al-Asqalany) adalah seorang hafiz Alquran dan ribuan hadis. Ibnu Hajar juga diakui kredibilitasnya oleh ulama dari berbagai disiplin ilmu keislaman. Beliau juga dikenal sebagai raja pensyarah (pengulas) kitab sahih Bukhari. Salah satu kitab syarahnya, yaitu kitab Subul al-Salam karya ash-Shan`ani (wafat 1182 H) telah menjadi rujukan resmi untuk matakuliah hadis dan hadis Ahkam di perguruan tinggi agama Islam.
Kitab Bulugh al-Maram ini juga merupakan salah satu kitab hadis yang dijadikan bahan pelajaran di berbagai pondok pesantren.