REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim merupakan kitab hadits yang paling terkemuka dalam dunia Islam. Namun, menurut Buya H Muhammad Alfis Chaniago dalam Indeks Hadits dan Syarah II, sebagian ulama berpendapat bahwa nilai shahih Bukhari lebih tinggi dari shahih Muslim.
Alasannya karena syarat yang ditetapkan oleh Imam Bukhari lebih ketat dibandingkan dengan syarat yang ditetapkan oleh Imam Muslim. Syarat yag dimaksud di antaranya Bukhari menetapkan Liqo' (Bertemunya antara rawi yang menyampaikan dengan rawi yang menerimanya). Dan bagi Imam Muslim syarat tersebut cukuplah mu'aasaroh (perawi yang menyampaikan dan perawi yang menerima hadits itu hidup dalam satu masa).
Sementara, ulama di wilayah Maghribi (Afrika Utara) menilai peringkat Shahih Muslim lebih tinggi dari kitab Shahih Bukhari. Mengapa? Sebab walaupun persyaratan yang digunakan Imam Muslim lebih longgar, namun kitab ini dipandang telah memenuhi syarat longgar, namun kitab ini dipandang telah memenuhi syarat minimal. Sebaliknya persyaratan yang ditetapkan Bukhari yang lebih ketat, mereka (ulama Maghribi) menilai berlebihan.
Dalam tulisan Buya Muhammad, kitab Shahih Muslim memiliki beberapa kelebihan dibandingkan Shahih Bukhari. Yakni:
- Imam Muslim lebih teliti dalam meriwayatkan dengan lafal yang diterimanya, sebab ia mencatatnya sewaktu menerima hadits.
- Redaksi haditsnya sebagian besar diriwayatkan secara bi al-afs (Maksudnya dengan lafal sama dengan yang disampaikan oleh Nabi SAW). Sebaliknya redaksi Imam Bukhari sebagian besar disampaikan secara bi al-ma'na (Menyampaikan isi atau makna dari yang disabdakan Nabi SAW). Itulah sebabnya jika terjadi perbedaan kalimat antara hadits Bukhari dan Muslim, ebagian besar para ulama lebih memilih redaksi yang digunakan oleh Imam Muslim.
- Susunan Shahih Muslim lebih sistematis, karena hadits-haditsnya dihimpun berdasarkan bab-bab yang ada dalam kitab fikih seperti aqdah, hukum, kemasyarakatan, dan ibadah. Dengan demikian seseorang yang ingin meneliti hadits lebih mudah menelusurinya dalam shahih Muslim.
Dalam penyusunan kitab ini, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh dan ta'dil (yakni suatu ilmu yang dipakai menilai cacat tidaknya suatu hadits). Juga ia menggunakan metode penerimaan riwayat (shighot at-tahammul) seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), hadassana (menyampaikan kepada kami), akhbaronii (mengabarkan kepada saya), akhbarona (mengabarkan kepada kami, dan qoola (ia berkata).