REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebaran sebentar lagi. Jutaan orang mengemas barang dan pergi. Mereka menuju kampung tempat aneka tanaman bersemi. Di sana mereka melepas rindu dan menambah ketenangan hati.
Pemerintah memproyeksikan bahwa puncak arus mudik Lebaran tahun ini akan terjadi pada 26-28 Maret 2025, sedangkan arus balik diperkirakan memuncak pada 6-7 April 2025.
Berdasarkan perkiraan Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kemenhub, jumlah pemudik tahun ini diprediksi mencapai 146,48 juta orang, atau sekitar 52 persen dari total populasi Indonesia.
Merujuk ke berbagai sumber, mudik sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Warga Mataram misalkan, lahir dan kecil di berbagai daerah. Kemudian bekerja di Mataram. Menjelang Lebaran, mereka kembali ke kampung halaman untuk kembali kumpul bersama keluarga.
Mudik merupakan singkatan dari mulih disik (pulang sebentar), kata bahasa Jawa. Dalam praktiknya, mudik berlangsung tidak lama. Mungkin beberapa hari, paling lama sepuluh hari. Setelah itu pelaku mudik akan kembali ke rantau untuk kerja memenuhi pundi - pundi uang.
Jika kita tarik lagi ke sejarah masa lalu, maka ternyata tradisi mudik ini alias kangen kampung halaman, sudah ada sejak lama.
Pengurus Lembaga Bahtsul Masail PBNU, KH Abdul Muiz Ali menjelaskan, mudik telah menjadi fenomena sosial yang rutin dilakukan oleh para perantau untuk kembali ke kampung halamannya. Meskipun istilah mudik mulai populer sejak 1970-an, kata dia, tetapi akar sejarahnya sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit.
"Konon, kegiatan mudik dilakukan oleh para petani Jawa, untuk kembali ke kampung halamannya atau daerah asalnya untuk membersihkan makam leluhurnya," ujar Kiai Muiz kepada Republika pada Rabu (26/3/2025).
Masyarakat melakukan mudik karena mencintai Tanah Kelahirannya. Dia pun mengaitkan tradisi mudik ini dengan kecintaan Rasulullah kepada kampung halamannya.