REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Ketua Umum MUI pertama Prof DR Hamka atau yang akrab disapa Buya Hamka, pernah mendapat sebuah pertanyaaan dari seorang bernama Tan Po Nio yang dimuat pada majalah Gema Islam yang terbit pada 15 Juli 1962. Tan Po Nio yang merupakan seorang muslimah dari Padang Panjang itu bertanya ke Buya Hamka, soal hukum berhubungan suami istri dalam keadaan istri belum mandi sesudah haidh.
Mendapat pertanyaan itu, Buya Hamka mengatakan, Rasulullah juga pernah ditanya oleh seorang sahabat dengan pertanyaaan yang seperti itu. Kemudian, Allah menyuruh Nabi untuk menjawab pertanyaan tersebut sebagaimana firmannya:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (QS: Al Baqarah: 222)
Menurut Buya Hamka, dari ayat ini nyatalah bahwa Rasululah SAW telah datang orang bertanya sebagaimana pertanyaan yang dikemukakan oleh saudari Muslimah Tan Po Nio, lalu Tuhan menyuruh kepada Nabi supaya menjawab pertanyaan itu, bahwasanya perempuan sedang di dalam haidh adalah sedang dalam persakitan (bukan sakit) dan darah haidh itu adalah darah kotor. Sebab itu diperintahkan Tuhan dengan perantaraan Nabi agar di waktu haidh itu fa'azilu artinya 'menyisih', menjauh atau memisahkan diri dari wanita.
Untuk melaksanakan perintah Tuhan ini niscaya sebaiknya selama haidh itu si laki-laki memisah tidur. Karena kalau berdekatan juga, dikhawatirkan tidak bisa menahan syahwatnya.