Kamis 25 Jan 2024 18:10 WIB

Keadaan yang Menganjurkan Kita Melakukan Sholat Istikharah

Sholat Istikharah itu tidak dilakukan untuk perkara wajib dan sunnah.

Rep: Mabruroh/ Red: Muhammad Hafil
Sholat istikharah  (Ilustrasi).
Foto: Canva
Sholat istikharah (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Sholat Istikharah merupakan sholat sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah saw kepada para sahabatnya dan kepada kita umatnya. Saking pentingnya, Rasulullah saw memerintahkan agar jangan pernah meninggalkannya istikharah ketika datang sebuah masalah atau kita berhadapan dengan sebuah pilihan untuk mengambil keputusan terbaik yang mendapatkan ridho Allah.

Karena setiap permasalahan yang kita hadapi, kita akan melihatnya dengan sudut pandang manusia, yang adakalanya didasari dengan ego dan emosi semata. Padahal kita memiliki Allah swt yang mampu menolong dan memberikan jawaban terbaik untuk kita.

Baca Juga

Lalu dalam keadaan seperti apa kita harus sholat istikharah? Rasulullah saw melalui hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, Nabi saw bersabda, yang artinya:

"Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, "Rasulullah saw mengajarkan kepada kami istikharah (menentukan pilihan) pada semua perkara sebagaimana beliau mengajar kami surat dalam Alqur'an. Beliau bersabda, Jika salah seorang dari kalian hendak melakukan suatu perkara, maka hendaknya dia mengerjakan shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian hendaknya dia mengucapkan, "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan yang benar kepada-Mu dengan ilmu-Mu. Aku memohon kemampuan kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu. Aku memohon karunia-Mu yang agung kepada-Mu. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa, sedangkan aku tidak kuasa, dan Engkau Maha Mengetahui sedangkan aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha Mengetahui perkara ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam agama, kehidupan dan akibatnya, maka takdirkanlah ia dan mudahkanlah ia bagiku, kemudian berkahilah untukku padanya. Namun jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini buruk bagiku dalam agama, kehidupan, dan akibatnya bagiku, maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya, tetapkanlah kebaikan bagiku di mana pun ia berada, lalu jadikanlah aku ridha dengannya." (HR. Al-Bukhari)

Dikutip dari buku “Panduan Muslim Sehari-hari” oleh DR. Hamdan Rasyid, dan Saiful Hadi El-Sutha, menyebutkan, melalui hadits tersebut, telah diterangkan bahwa sholat istikharah disunahkan untuk dilakukan terhadap perkara-perkara yang mubah (hukum asalnya boleh), bukan pada perkara yang wajib dan sunah, begitu pula bukan pada perkara makruh dan haram. Seseorang tidak perlu istikharah untuk melaksanakan shalat Zhuhur, shalat Rawatib, puasa Ramadhan, puasa sunah Senin-Kamis, ataupun istikharah untuk minum sambil berdiri ataukah tidak. Juga tidak perlu istikharah untuk mencuri atau tidak. Karena semua itu hukumnya sudah jelas, tidak perlu istikharah.

Begitu pula seseorang tidak perlu istikharah dalam masalah apakah dia harus menikah ataukah tidak. Karena hukum asal menikah itu diperintahkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.

Jadi, yang boleh (bisa) diistikharahkan adalah dalam urusan memilih calon istri terbaik dari beberapa pilihan yang ada, yang hal ini hukumnya mubah. Bukan dalam masalah nikahnya itu sendiri. Karena hukum nikah itu sudah jelas anjurannya dalam Alqur'an dan As-Sunnah.

Ibnu Hajar Al-Asqalani, dengan menukil pendapat Abu Jumrah, mengatakan bahwa shalat Istikharah itu tidak dilakukan untuk perkara wajib dan sunah.  Begitu juga istikharah tidak dilakukan untuk memilih perkara makruh dan haram, kecuali apabila terjadi dilema tentang perkara wajib atau sunah tersebut. 

Sebagai contoh, ada seseorang yang mampu melaksanakan ibadah haji, tapi ia ingin memutuskan akan berangkat haji tahun ini atau tahun depan. Maka dalam hal ini, ia boleh mengerjakan shalat Istikharah untuk menentukan pilihannya itu, meskipun ibadah haji sendiri hukumnya adalah wajib.

Sementara contoh dua hal sunah yang boleh diistikharahkan misalnya, adalah dalam dua hal sunah yang bertabrakan pelaksanaannya dalam satu waktu. Misalnya seseorang ingin melakukan umrah yang sunah, sedangkan ketika itu ia juga harus mengajarkan ilmu di negerinya, maka dalam posisi seperti itu, orang yang bersangkutan boleh melakukan shalat istikharah, untuk menentukan mana yang sebaiknya dikerjakannya; umrah atau mengajar. ("Fiqh Ad-Du'aa". karya Syaikh Musthofa Al 'Adawi, Cet. 1, halaman 167-168).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement