REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag), Prof Kamaruddin Amin merespons adanya dosen fisika dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang berceramah dan salah dalam menafsirkan surat Al Qariah. Menurut dia, seharusnya seorang dai memiliki latar belakang pendidikan keagamaan yang memadahi, sehingga tidak sembarangan dalam menafsirkan Alquran.
Dia menjelaskan, seorang dai adalah juru bicara dan penerjemah agama untuk masyarakat, sehingga seharusnya seorang dai memiliki pemahaman keagamaan yang memadahi.
“Sehingga kalau dainya sendiri tidak punya kapasitas, tidak punya kompetensi, ya, itu berpotensi untuk memaknai salah atau menyalahtafsiri pesan-pesan substansi dari ajaran agama itu,” ujar Prof Kamaruddin kepada Republika.co.id, Rabu (3/1/2024).
“Jadi, belajar agama itu tidak bisa instan sebenarnya,” ucap dia.
Dia mengatakan, seorang dai sebenarnya sedang menjalani sebuah status sebagai orang yang otoritatif untuk berbicara tentang agama, sehingga setiap penceramah tidak boleh salah dalam menafsirkan Alquran.
“Jadi, tidak sembarang seharusnya. Apalagi ini menafsirkan ayat Alquran begitu,” kata Guru Besar UIN Makassar ini.
Sebelumnya, beredar video ceramah seorang dosen dari UPI Bandung, Syaiful Karim saat menafsirkan surat Al Qariah. Dalam ceramahnya, Syaiful memaknai arti ayat dalam surat Al Qariah. Menurut dia, seharusnya Al Qariah itu artinya adalah "pembaca perempuan", bukan bermakna hari kiamat.
Tidak hanya salah menafsirkan surat Al Qariah, buku-buku yang dikarang Syaiful Karim juga dianggap menyesatkan, di antaranya bukunya yang berjudul Suatu Perjalanan Spiritual Bertamu DirumahNya. Pada 2010 lalu, MUI Solok, Sumatra Utara, pun mengecam peredaran buku tersebut.
Pada 2012 lalu, pengajian Syaiful Karim juga sudah pernah dilarang oleh Kementerian Agama Kota Jambi. Lalu, apakah Kemenag Pusat juga akan melarang pengajian Syaiful Karim yang sering ditayangkan lewat media sosial?
Menanggapi hal itu, Prof Kamaruddin menjelaskan, pihaknya tidak bisa melarang seseorang secara formal untuk menyampaikan pesan-pesan agama. Sebab, menurut dia, Indonesia bukan negara Islam atau negara agama.
“Kita adalah negara demokrasi, sehingga kita tidak bisa melarang orang. Tetapi, secara moral, siapa pun harus bertanggung jawab, gitu. Nah, oleh karena itu, lagi-lagi seharusnya siapa pun dia yang ingin menyampaikan pesan-pesan agama harus memiliki otoritas, harus memiliki latar belakang, pengetahuan, kapasitas yang memadai untuk itu,” ujar Prof Kamaruddin.