REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengasuh Pondok Pesantren Dalafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, KHR Achmad Azaim Ibrahimy menjelaskan tentang tafsir surat Al Anfal ayat 64 berdasarkan kitab Tafsir Jalalain. Menurut Kiai Azaim, di kalangan para mufasir ada dua pendapat tentang ayat ini.
Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللّٰهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya: "Wahai Nabi (Muhammad)! Cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu." (QS Al Anfal ayat 64).
Kiai Azaim menjelaskan, pendapat pertama menyatakan bahwa ayat ini turun ketika menjelaskan tentang pasukan Perang Badar dan dengan kekuatan imannya satu hati mengikuti komando nabi.
"Ketika orang-orang beriman satu hati bagaikan satu tubuh, bagimana fungsi organ tubuh, tangan, kaki dan seluruh organ tubuh lainnya ikut perintah kepala atau apa kata pikiran. Begitulah kondisi orang mukmin ketika satu hati mengikuti komando nabi," jelas Kiai Azaim dalam pengajian kitab Tafsir Jalalai yang diunggah secara daring di kanal Youtube S3tv pada 21 Agustus 2023.
Maka, lanjut dia, orang yang tidak mengikuti perintah nabi, kemudian terseleksi menjadi kelompok kaum munafikin atau yang sedari awal memang sudah menentang, yakni kaum kafir yang menjadi musuh.
"Nah untuk orang-orang mukmin inilah di situ ada pertolongan Allah," ucap Kiai Azaim.
Jadi, menurut dia, ayat ini menjelaskan bahwa cukup bagi Nabi mengandalkan Allah dan orang-orang mukmin saja. "Apakah dengan adanya penjelasan Wamanittabaaka minal mukminin ini berarti ada sesuatu selain Allah? Bukan, ini bukan sesuatu yang selain Allah, karena sebenarnya kekuatan kaum mukminin sendiri dari Allah. Washilahnya apa? Washilahnya adalah keimananan mereka," kata Kiai Azaim.
Menurut dia, iman lah yang Allah berikan, sehingga bisa menguatkan pendirian mereka untuk bersatu padu mengikuti nabi. "Jadi pada intinya kembali pada siapa? Imannya dari Allah, pembelaan perjuangannya untuk agama Allah, mengikuti nabinya Allah," jelasnya.
Hal itu berbeda dengan orang yang kemudian hanya mengandalkan banyaknya orang yang telah menjadi pengikutnya. Jika mengukur kekuatannya dengan melihat banyaknya pengikutnya, justru bisa menjadi bahaya.
"Beberapa kejadian di perang-perang besar dari jumlah pasukan muslimin, seperti Uhud atau perang Hunain atau lainnya. Kaum muslimin sempat terpukul mundur ketika melihat hanya sebatas kekuatan fisik saja," ujar Kiai Azaim.
"Lihat bagaimana jumlah 313 ini (dalam perang Badar) mengalahkan seribu orang, dua kali lipatnya dari kekuatan mereka sesungguhnya," imbuhnya.
Kemudian, lanjut Kiai Azaim, pendapat kedua menyatakan bahwa ayat ini diturunkan ketika Umar Ibnu Khattab masuk Islam. "Atau pendapat yang lain mengatakan bahwa ini turun tentang keislaman Sayyidina Umar. Jadi Wamanittaba'aka di sini Sayyidina Umar. Cukuplah engkau mengandalkan Allah dan mengandalkan seseorang yang mengikutimu dari kalangan mukminin. Siapa? Sayyidina Ibnul Khattab," ucap Kiai Azaim.
Dia menuturkan, ketika Nabi Muhammad SAW berdakwah secara sir (dakwah sembunyi-sembunyi) dari pintu ke pintu, tekanan besar dari kaum kuffar Makkah luar biasa. "Waktu itu jumlah kaum muslimin sudah hampir mencapai 40. 33 laki-laki dan enam orang perempuan, jadi 39. Satu orang lagi baru masuk Islam yaitu Sayyidina Umar menjadi 40 orang. Ketika itulah kemudian perintah dakwak bil jahr (dakwah terang-terangan)," kata Kiai Azaim.
Maka, tambah dia, kalau mengikuti pendapat bahwa ayat ini turun pada peristiwa perang Badar, berarti ayat ini masuk kategori Madaniyah atau periode Madinah. Tetapi, kalau mengikuti pendapat yang menyatakan turun pada peristiwa Islamnya Sayyidina Umar, maka ayat ini termasuk periode Makkiyah atau turun jauh sebelum nabi hijrah.
"Apa yang dapat kita petik, kita pelajari untuk kondisi sekarang? boleh jadi dalam perjuangan, dalam berdakwah, Allah hadirkan para penolong-penolong dengan segala variasi kekuatannya. Satu orang ini punya kekuatan diplomasi misalkan, satu orang ini punya kekuatan militer, satu orang ini memiliki kekuatan pengaruh," jelas Kiai Azaim.
Dia pun mencontohkan dalam perjuangan dakwah Islam di Tanah Air, di mana Allah menghadirkan penolong seperti Sunan Ampel yang masuk ke Kerajaan Majapahit. Dari lingkungan istana ini, kemudian dakwah Islam terus berjalan.
"Atas jasa-jasa menyebarkan Islam yang teduh, yang damai, diberilah tanah di Ampel. Para punggawa, para kesatria, para pengeran juga ngaji kepada Dunan Ampel. Raden Fatah yang masih trah Majapahit adalah murid Sunan Ampel, menantu beliau. Yang kemudian dipersiapkan menjadi Raja Demak dengan konsep Islam," ujar Kiai Azaim.
Lalu ketika pemimpinannya yang masuk Islam, lanjut dia, berduyun-duyunlah masyarakat yang masuk Islam. Sedangkan jika Sunan Ampel mengislamkan orang satu per satu, maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Kendati demikian, menurut Kiai Azaim, keislaman satu orang itu pun tidak boleh diabaikan, karena bisa itu adalah tahapan.
Karena itu, tambah dia, tidak boleh pilah-pilih juga dalam menyampaikan dakwah Islam. "Jangan kemudian pilah-pilih,nggak mau berdakwah sama orang yang miskin, yang fakir, pilihnya yang kaya-kaya yang punya kendaraan, punya harta benda melimpah. Ini dakwah pilih-pilih namanya kan. Tidak. Tetapi ada hal yang memang secara strategi itu lebih dahsyat kekuatannya," kata Kiai Azaim.