Selasa 23 May 2023 23:07 WIB

Ungkapan 'Belum 5 Menit' untuk Memakan Makanan yang Jatuh Ternyata Ada Dasar Haditsnya

Rasulullah SAW menganjurkan segera menyantap makanan yang jatuh

Rep: Rossi Handayani / Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi makanan. Rasulullah SAW menganjurkan segera menyantap makanan yang jatuh
Foto: www.freepik.com
Ilustrasi makanan. Rasulullah SAW menganjurkan segera menyantap makanan yang jatuh

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Terkadang makanan yang hendak disantap seseorang terjatuh karena sesuatu hal. Maka sunnah yang dapat dilakukan seorang Muslim yakni dengan mengambil dan memakannya dengan segara. Ada hikmah yang dapat diambil dengan mengambil makanan terjatuh. Apa itu?

Dikutip dari Buku Adab-Adab Makan Seorang Muslim oleh Dr Aris Munandar, dari Jabir bin Abdullah RA, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:  

Baca Juga

عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه أن رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قالَ: "إنّ الشيطانَ يَحضُرُ أحدَكُم عندَ كلِ شيءٍ من شَأنِه، حتى يَحضُرَهُ عندَ طعامِهِ، فإذا سَقطتْ لقمةُ أحدِكُم فليَأخُذْها فَلْيُمِطْ ما كانِ بها من أذى، ثم ليَأكُلْها ولا يَدَعْها للشيطانِ، فإذا فَرَغَ فليَلْعَقْ أصابعَهُ، فإنه لا يَدري في أيِّ طَعامه البركة

“Sesungguhnya setan bersama kalian dalam segala keadaan, sampai-sampai setan bersama kalian pada saat makan. Oleh karena itu, jika makanan kalian jatuh ke lantai maka kotorannya hendaknya dibersihkan kemudian dimakan dan jangan dibiarkan untuk setan. Jika sudah selesai makan maka hendaknya jari jemari dijilati karena tidak diketahui di bagian manakah makanan tersebut terdapat berkah” (HR Muslim no 2033 dan Ahmad 14218).

Terdapat banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari hadits di atas, di antaranya setan itu selalu mengintai manusia dan menyertainya serta berusaha untuk mendapatkan bagian dari apa yang dilakukan oleh manusia. Setan menyertai manusia sampai-sampai pada saat makan dan minum.

Dalam hadits di atas, Nabi memerintahkan untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada makanan yang jatuh ke lantai, baik berupa tanah atau yang lainnya, kemudian memakannya dan tidak membiarkan makanan tersebut untuk dinikmati oleh setan karena setan adalah musuh manusia. Seseorang sepantasnya menghalangi musuhnya untuk mendapatkan kesenangan.

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa keberkahan makanan itu terletak dalam makanan yang jatuh ke lantai, oleh karena itu kita tidak boleh menyepelekannya.

Ada satu catatan penting berkenaan dengan hadits di atas karena Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengatakan bahwa setan itu selalu menyertai manusia oleh karena itu manusia tidak boleh mengingkari hal ini sebagaimana tindakan sebagian orang .

Jika ada orang hendak makan maka setan menyertainya, jika ada orang yang hendak minum maka setan juga menyertainya, bahkan jika ada orang yang hendak menyetubuhi istrinya maka setan pun datang dan menyertainya. Jadi, setan itu menyertai orang-orang yang lalai dari Allah SWT .

Baca juga: Mualaf Theresa Corbin, Terpikat dengan Konsep Islam yang Sempurna Tentang Tuhan

Namun, jika kita mengucapkan bismillah sebelum makan maka bacaan tersebut menghalangi setan untuk bisa turut makan. Setan sama sekali tidak mampu makan bersama kita jika kita sudah menyebut nama Allah SWT sebelum makan, akan tetapi jika kita tidak mengucapkan bismillah maka setan makan bersama kita.

Bila kita sudah mengucapkan bismillah sebelum makan, setan akan menunggu-nunggu adanya makanan yang jatuh ke lantai. Jika makanan yang jatuh tersebut kita ambil maka makanan tersebut menjadi hak kita, tapi jika kita biarkan maka setanlah yang memakannya. Jadi, setan tidak menyertai kita ketika kita makan maka dia menyertai kita dalam makanan yang jatuh ke lantai.

Oleh karena itu, hendaknya kita persempit ruang gerak setan berkenaan dengan makanan yang jatuh. Oleh karena itu, jika ada suapan nasi, kurma, atau semacamnya yang jatuh ke lantai maka hendaknya kita ambil. Jika pada makanan yang jatuh tersebut terdapat kotoran berupa debu atau yang lainnya maka kotoran tersebut hendaknya kita singkirkan dan makanan tersebut kita makan dan tidak kita kita biarkan untuk setan. (Syarah Riyadhus Shalihin, Juz VII hal 245-246). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement