REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai dzikir untuk mendekati Allah ditulis oleh alim Imam Nawawi Dimasyqi (1233-1277) dalam kitab al- Muntaqal Mukhtar min Kitabil Adzkar. Kitab ini berisikan hadis dan petuah para ulama mengenai dzikir, etika, dan ibadah yang menuntun para pembaca untuk mendekati Allah.
Ada dzikir yang dibaca pada pagi dan malam hari. Ada juga dzikir dan doa pada waktu tertentu, seperti ketika memasuki rumah, ketika berada di Tanah Suci, memakai pakaian, memasuki toilet, dan banyak lagi. Doa-doa tersebut didasari pada hadis dan pendapat ulama yang otoritatif.
Bagian awal kitab ini berisikan bab tentang ikhlas beramal. Imam Nawawi mengutip ayat Alquran yang artinya, Tidaklah manusia diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas untuk agamanya. (QS al-Bayyinah: 5).
Seorang alim Fudhail bin Iyadh menjelaskan meninggalkan amal perbuatan hanya untuk dilihat manusia adalah riya. Sedangkan amal perbuatan yang dilakukan untuk dilihat manusia adalah syirik. Yang paling utama adalah Ikhlas dalam beramal. Dengan ikhlas, Allah menjauhkan seseorang dari syirik dan riya.
Imam al-Qusyairi menjelaskan, ikhlas berarti memfokuskan diri untuk taat kepada Allah. Yang diinginkan hanyalah kedekatan (taqarrub) bersama Allah, bukan yang lain. Pendapat lain yang dikutip Imam Nawawi berasal dari Sahl Tustari. Sufi tersebut mengatakan, ikhlas adalah menjadikan semua gerakan dan juga diam dalam rahasia Allah, sehingga tak diganggu nafsu dan dunia.
Pembahasan mengenai ikhlas ini membuat pembaca memahami segala amal kebaikan yang dikerjakan hendaknya diniatkan untuk Allah semata, bukan dunia yang hanya sementara.
Keikhlasan kepada Allah membuat amal kebaikan bukan hanya bermanfaat untuk kehidupan zahir, tapi juga batin. Amal tersebut bermanfaat untuk alam sekitar dan berpahala, sehingga menenangkan jiwa.
Kitab ini sangat kaya dengan pendapat para ulama. Mereka berbicara ten tang etika yang menjadi jalan menuju kedekatan kepada Ilahi Rabbi. Petuah mereka merupakan asupan bermanfaat untuk hati yang selama ini dipenuhi dengan kesibukan duniawi. Berbagai pembahasan dalam al-Adzkarmembuat siapa pun menyadari, selama ini kesibukan dan keduniaan telah merenggut kemesraan dan kehangatan bersama Sang Pencipta.