Jumat 10 Feb 2023 11:12 WIB

Hendak Bepergian, Berikut Ini Tata Cara Sholat Safar

Cara sholat safar tak jauh berbeda dengan sholat sunnah lainnya.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Erdy Nasrul
Ilustrasi shalat.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Ilustrasi shalat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sholat sunnah safar merupakan salah satu yang dianjurkan dilakukan ketika akan melakukan perjalanan atau bepergian. Rasulullah SAW disebut memiliki kebiasaan tidak pernah meninggalkan suatu tempat, kecuali melakukan shalat sunnah safar sebelum pergi.

Dalam sebuah hadits, Nabi bersabda:

Baca Juga

مَا خَلَّفَ أَحَدٌ عَلَى أَهْلِهِ أَفْضَلُ مِنْ رَكْعَتَيْنِ يَرْكَعُهُمَا عِنْدَهُمْ حِينَ يُرِيدُ السَّفَرَ

“Tidak ada sesuatu yang lebih utama untuk ditinggalkan seorang hamba bagi keluarganya, daripada dua rakaat yang dia kerjakan di tengah (tempat) mereka ketika hendak melakukan perjalanan.” (HR ath-Thabrani).

Dalam hadits lain juga disebut Rasulullah bersabda:

 إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَنْزِلُ مَنْزِلاً إِلاَّ وَدَّعَهُ بِرَكْعَتَيْنِ

“Sungguh, Nabi Muhammad ﷺ tidak tinggal di suatu tempat kecuali meninggalkan tempat tersebut dengan shalat dua rakaat” (HR Anas bin Malik).

Dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, Imam Nawawi berupaya menjelaskan beberapa etika bagi umat Muslim yang hendak melakukan perjalanan. Aturan itu menjadi bagian yang sangat penting dilakukan, sebelum pergi meninggalkan keluarga dan tempat tinggalnya.

Menurut Imam Nawawi, sholat safar hanya disunnahkan bagi orang-orang yang hendak bepergian dan boleh dilakukan di waktu apa pun. Artinya, ia boleh melakukan di malam hari maupun siang hari.

Dalam artikel yang dibuat oleh Ustadz Sunnatullah di situs resmi PBNU, sholat sunnah ini disebut dilakukan sebagai wujud permohonan seorang hamba kepada Tuhan-Nya agar diberikan hidayah, pertolongan dan keselamatan selama perjalanan.

Cara sholat safar tak jauh berbeda dengan sholat sunnah lainnya. Ketentuannya sama dengan ketentuan sholat sunnah pada umumnya.

Sholat safar juga mempunyai syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Di antaranya adalah harus mempunyai wudhu, menutup aurat, dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, membaca al-Fatihah, ruku’, i’tidal, sujud, dan lainnya.

Lafal niat sholat safar adalah:

 أُصَلِّي سُنَّةَ السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Ushalliî sunnatas safari rak’ataini lillâhi ta’âla

“Saya niat shalat sunnah perjalanan dua rakaat karena Allah ta’âla.”

Lebih lanjut, Imam Nawawi menyebut praktik yang dianjurkan pada rakaat pertama membaca surat Al-Kafirun setelah membaca surat Al-Fatihah. Sementara untuk rakaat kedua membaca surat Al-Ikhlas setelah membaca Al-Fatihah.

Setelah sholat dua rakaat itu selesai, dianjurkan membaca ayat Kursi. Keuntungan membaca ayat Kursi, sebagaimana dijelaskan Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar lin Nawawi, adalah keselamatan selama perjalanan dan tidak akan tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan sampai ia selesai dari perjalanannya (Imam Nawawi, al-Adzkar lin Nawawi, [Bairut: Darul Minhaj, 2010], h. 216).

Selanjutnya, bacaan surat yang dianjurkan untuk dibaca adalah surat Quraisy. Imam Nawawi menceritakan sebuah kisah, suatu saat Syekh Abu Thahir hendak melakukan perjalanan, hanya saja ia takut. Kemudian ia pergi menemui Imam Qazwaini untuk memohon doa kepadanya.

Imam Qazwaini berkata, “Siapa hendak bepergian, namun takut dengan musuh, atau gangguan-gangguan lainnya, maka bacalah surat Quraisy, karena sesungguhnya ia merupakan pengaman dari segala marabahaya dan kejelekan.”

Setelah mendengar penjelasan itu, Syekh Abu Thahir melakukannya, dan tidak ada kejadian apa pun yang mengenainya selama perjalanan sampai ia pulang” (Imam Nawawi, Al-Adzkar lin Nawawi, 2010, h. 217).

Menurut Imam Nawawi, dua bacaan di atas sangat penting untuk dibaca setelah melakukan sholat sunnah safar, karena keduanya mempunyai keberkahan yang sangat besar dalam hal apa pun. Keberkahan itu tidak terbatas oleh waktu dan keadaan.

Oleh karenanya, sangat dianjurkan untuk membaca dua bacaan di atas ketika hendak berangkat bepergian (Imam Nawawi, Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, [Bairut: Darul Fikr, 1999], juz IV, h. 387).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement