REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Langit memiliki banyak jalan yang merupakan garis edar atau orbit. Dengan meniti garis tersebut, segala benda langit bumi, planet-planet, bintang-bintang, serta galaksi-galaksi bergerak teratur.
Dalam Alquran surat Adz Dzariyat ayat 7, Allah Ta'ala bersumpah: وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْحُبُكِ Wassamaaa`i dzaatil hubuk. Artinya, "Demi langit yang mempunyai al-hubuk."
Menurut penafsiran KH Prof M Quraish Shihab, al-hubuk itu dapat berarti yang indah atau yang teratur.
Kata yang sama, lanjut dia, dapat pula dipahami sebagai bentuk jamak dari hibak atau habikah. Artinya, jalan atau orbit.
Ayat Alquran itu mengisyaratkan kaum Muslimin agar mereka tidak hanya mengamati kejadian-kejadian di bumi, tetapi juga ruang angkasa.
Dalam surat lain, yakni Ali Imran ayat 190- 191, Allah SWT menyebut kualitas mukminin yang merenungi semua ciptaan-Nya itu sebagai ulil albab.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(Yaitu) yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Cabang ilmu yang mengkaji benda-benda langit adalah astronomi. Dalam sejarah peradaban Islam, khususnya dalam masa keemasan, ada banyak ahli ilmu falak. Walaupun berjasa besar, sebagian ilmuwan Muslim itu cenderung terlupakan".
Generasi kini tampaknya lebih mengenal nama-nama saintis Barat yang non- Muslim, utamanya mereka yang muncul dari era Renaisans.
Padahal, mereka membuka jalan bagi perkembangan astronomi modern. Ambil contoh, tokoh-tokoh, yakni Abu Ma'syar al-Balkhi (787- 886 M), Ibnu al-Haitsam (965-1040 M), Abu Sa'id al-Sijzi (945-1020 M).
Kemudian, ada Mu'ayyaduddin al-Urdi (1200-1266), Nashiruddin al-Thusi (1201-1274 M), Quthbuddin al-Syirazi (1236-1311 M), serta Ibnu Syathir (1304-1375 M).
Mereka semua berperan dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah terkait astronomi. Salah satu hasil kajiannya menyasar pada kekeliruan geosentrisme.
Istilah tersebut merujuk pada pandangan bahwa bumi adalah pusat". Maksudnya, planet tempat manusia berada ini adalah titik-tengah alam semesta dan selalu berada dalam kondisi diam. Adapun planet-planet, matahari, dan benda-benda langit lainnya bergerak mengitarinya.
Baca juga: Niat Mualaf Sandra Belajar Islam untuk Memurtadkan Muslim, Malah Bersyahadat
Lawan dari geosentrisme merupakan heliosentrisme. Pandangan ini menyatakan, pusat alam semesta adalah matahari (helios). Dengan demikian, benda-benda langit termasuk bumi berputar mengelilinginya.
Menilik jauh ke belakang. Mulanya, geosentrisme digagas oleh Anaximandros, filsuf Yunani Kuno yang hidup antara 610-546 sebelum Masehi (SM).
Menurut dia, bumi yang dianggapnya berbentuk silinder, bukan bola, tidak jatuh karena kedudukannya berada pada pusat alam raya. Pemikiran serupa diikuti Aristoteles (384-322 SM) dan Hipparchus (meninggal 140 SM).