REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Allah SWT telah menegaskan dalam Alquran bahwa manusia dalam beragama atau menganut kepercayaan, tak boleh memaksa manusia lainnya agar sama seperti dirinya. Tidak ada paksaan dalam menganut agama.
Allah berfirman dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 256 berbunyi: “La ikraha fii diini, qad tabayyana ar-rusydu minal-ghayyi faman yakfar bithoguti wa yu’min billahi faqadis-tamsaka bil-urwatil-wusqa la-nfishama laha wallahu sami’un alim”. Artinya: "Tidak ada paksaan untuk menganut agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada gantungan tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Prof Quraish Shihab dalam kitabnya Tafsir Al-Mishbah mengemukakan, kalimat tidak ada paksaan dalam menganut agama dalam ayat tersebut bermakna, mengapa ada paksaan padahal Dia tidak membutuhkan sesuatu? Mengapa ada paksaan? Sekiranya Allah menghendaki, niscaya manusia dijadikanNya satu umat saja.
Beliau menegaskan, dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan kalimat tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Hal ini berarti jika seseorang telah memilih satu akidah, maka yang bersangkutan terikat dengan tuntutan-tuntutan di dalamnya.
Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Beliau menjelaskan, agama Islam dinamai Islam yang berarti damai.
Kedamaian tidak dapat diraih jika jiwa tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai karena itu tidak boleh ada paksaan dalam menganut keyakinan agama Islam.
Telah jelas jalan yang lurus dan batil. Itu sebabnya, kata beliau, orang gila dan yang belum dewasa atau yang tidak mengetahui tuntunan agama, tidak berdosa jika melanggar atau tidak menganutnya. Sebab, bagi mereka-mereka itu belum jelas jalan kebenarannya.
Namun demikian di sisi lain, Prof Quraish juga menjabarkan, manusia tidak boleh berlindung dalam jubah ketidaktahuan secara sengaja. Sebab, setiap manusia memiliki potensi untuk mengetahui, namun terkadang potensi tersebut tidak digunakan. Apabila manusia tidak menggunakan potensi itu, maka yang bersangkutan akan dituntut dengan alasan menyia-nyiakan potensi yang dimiliki.