REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1 Syawal, umat Islam merayakan Idul Fitri. Kaum Muslimin sangat dianjurkan untuk melakukan shalat Id berjamaah.
Orang Islam yang tak ada halangan hendaknya ikut meramaikan momen Idul Fitri. Perempuan yang sedang menstruasi pun, meski dilarang shalat, tetap dianjurkan keluar rumah untuk ikut merayakan pagi hari penuh keberkahan ini.
Secara umum, shalat Idul Fitri tak jauh berbeda daripada shalat berjamaah.
Shalat Idul Fitri dan Shalat Idul Adha juga mirip, yakni dilaksanakan pada pagi hari. Hanya saja, ada anjuran untuk memperlambat waktu dimulainya shalat Idul Fitri. Hal itu untuk memberi kesempatan bagi orang yang belum menunaikan zakat fitrah hingga batas waktunya, yakni ketika khatib naik mimbar.
Waktu dimulainya shalat Idul Fitri adalah sama seperti shalat dhuha, yakni kira-kira setengah jam setelah matahari terbit.
Tempat pelaksanaan shalat Idul Fitri ialah di lapangan terbuka. Masjid dapat menjadi lokasi alternatif, misalnya, ketika cuaca buruk sehingga lapangan tidak memungkinkan sebagai tempat shalat. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah SAW.
Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Said al-Khudri, disebutkan bahwa Nabi SAW selalu keluar rumah pada hari Idul Fitri dan Idul Adha menuju lapangan. Beliau lalu shalat Id di sana.
Jarak antara lapangan itu dan masjid kira-kira seribu hasta atau dua ratus meter. Adapun dalam hadis lain, dari Abu Hurairah disebutkan, suatu hari raya hujan turun. Nabi SAW kemudian melakukan shalat bersama para sahabat di masjid.
Tata Cara Shalat
Pertama, ketika imam hendak memimpin shalat Id, hendaknya terdapat pembatas (sutrah) di hadapannya. Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. “Dari Ibnu Umar (diriwayatkan) bahwa Rasulullah SAW ketika keluar untuk melaksanakan shalat Id, maka beliau memerintahkan agar menancapkan tombak di depannya. Kemudian, beliau shalat menghadap kepadanya (tombak itu), sementara jamaah berada di belakangnya.”
Kedua, niat shalat. Niat letaknya di dalam hati sehingga tidak perlu diucapkan. Bagi imam, hendaknya berniat sebagai imam. Adapun bagi makmum, berniat untuk mengikuti imam.
Ketiga, shalat pun dimulai. Patut diketahui bahwa shalat Id dilaksanakan dengan dua rakaat. Sebelumnya, tak ada azan. Tak ada iqamah. Tidak pula disertai shalat sunah, baik sebelum maupun setelahnya.
Hal itu sesuai hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW pada hari Idul Adha atau Idul Fitri keluar, kemudian shalat dua rakaat, dan tidak mengerjakan shalat, baik sebelum maupun sesudahnya.” Selain itu, hadis riwayat Jabir, “Aku menyaksikan shalat bersama Rasulullah SAW pada suatu hari raya. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah tanpa azan dan iqamah.”
Keempat, ketika shalat, disertai takbir. Takbir shalat Idul Fitri sebagai berikut.
Pada rakaat pertama—sesudah takbiratul ihram—takbir tujuh kali dengan mengangkat tangan.
Pada rakaat kedua—sesudah takbir bangun dari sujud (takbiratul qiyam)—maka takbir lima kali dengan mengangkat tangan.
Ini sesuai dengan hadis dari Aisyah. Rasul SAW pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha bertakbir tujuh kali dan lima kali selain takbir untuk rukuk.
Kelima, bacaan di antara takbir. Ada dua pendapat tentang hal tersebut.
Pendapat pertama menyebut tidak ada dalil dari Nabi Muhammad SAW tentang bacaan di sela-sela tujuh dan lima kali takbir itu.
Pendapat kedua berdasarkan pada riwayat dari Ibnu Mas’ud, yang menyebutkan, di tiap sela-sela takbir tambahan itu dianjurkan membaca hamdalah, memuji Allah, dan shalawat kepada Nabi SAW.
Adapun bacaan yang dimaksud adalah: “Allahu akbar kabiiraa; walhamdulillahi katsiiraa; wasubhanallahi bukratawwa ashiilaa.”
Bisa juga dengan: “Subhaanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illa Allah, wallahu akbar.”
Keenam, membaca surah al-Fatihah, kemudian dilanjutkan dengan surah pendek. Untuk selanjutnya, lakukanlah sebagaimana shalat biasa, yakni ditutup dengan salam.
Saat rakaat pertama shalat Idul Fitri, disarankan membaca surah al-A’la atau surah Qaf. Saat rakaat keduanya, dianjurkan membaca surah al-Ghasyiyah atau surah al-Qamar.
Ketujuh, khutbah setelah shalat Idul Fitri. Khutbah ini dilangsungkan satu kali. Tidak diselingi dengan duduknya khatib di antara dua sesi khutbah.
Khatib hendaknya memulai khutbah dengan memuji Allah SWT (membaca alhamdulillah). Dalam khutbahnya, khatib dapat mengumandangkan takbir. Dalam hadis riwayat Sa’ad al-Mu’adzdzin, disebutkan bahwa Nabi SAW memperbanyak takbir di dalam khutbah dua hari raya. Khutbah ditutup dengan doa.