REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosok Raden Ajeng Kartini (1879-1904) sempat berguru kepada KH Saleh Darat. Kisah guru dan murid ini mengandung banyak hikmah. Di antaranya adalah, satu contoh peleburan budaya lokal Jawa dan Islam.
Pada mulanya, KH Saleh Darat mengajarkan tafsir Alquran di beberapa kota-kota pesisir utara Jawa, termasuk Demak. Bupati Demak yang menjabat kala itu merupakan paman RA Kartini.
Dalam suatu pengajian bulanan, putri kelahiran Jepara ini menjadi peserta. Dia turut bersama dengan para priyayi wanita yang duduk di belakang tirai, menyimak pemaparan dari sang kiai. Ternyata, penjelasan KH Saleh Darat tentang tafsir Surah al-Fatihah amat menarik hatinya.
Baca juga: Vegetarisme dan Misteri Kematian Kartini
Usai pengajian, Kartini lantas membujuk pamannya agar menemaninya untuk menemui KH Saleh Darat. Dengan kata-kata yang sopan tetapi tegas, Kartini meminta kepada sang kiai agar bersedia menerjemahkan al-Fatihah ke dalam bahasa Jawa.
“Kiai lain tidak berani berbuat seperti itu. Sebab, kata mereka, Alquran tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain,” keluh Kartini kepada KH Saleh Darat.
Kepadanya, Kartini juga mengaku belum pernah mengerti dan memahami arti dari surah al-Fatihah sebelum mengikuti kajian sang kiai di Pendopo Demak ini. Untuk itu, dia menghaturkan terima kasih yang setulus-tulusnya.
Baca juga: Memaknai Kartini Bukan Memperjuangkan Hedonisme
Namun betapa sayangnya, kata Kartini, bila membaca Alquran sebagai kitab suci yang sedemikian indahnya justru tidak dipahami isinya sama sekali oleh orang-orang yang beriman. Padahal, mereka khususnya orang Jawa yang Muslim sangat ingin mengerti kandungan kitabullah itu sebagai penuntun kehidupan. Bagaimana mungkin beramal tanpa ilmu?
Tergugahlah hati KH Saleh Darat. Begitu kembali ke rumahnya, sang kiai kemudian berupaya menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Jawa aksara Pegon.
Dari kerja kerasnya itu, lahirlah kitab tafsir Alquran Faidhur Rahman. Pada sampul buku ini, dia menggunakan nama Abu Ibrahim untuk mengenang anaknya (Ibrahim) yang telah wafat.
Kitab tersebut merupakan teks terjemahan pertama Alquran dalam bahasa Jawa. Isinya meliputi surah al-Fatihah hingga surah Ibrahim. Penulisnya lebih dahulu wafat sebelum dapat menuntaskan kitab ini hingga membahas seluruh 30 juz Alquran.
Sejak membaca karya KH Saleh Darat tersebut, pandangan Kartini mulai islami. Dalam arti, dia mulai meninggalkan kecenderungan liberal, yang tidak lain arahan para mentornya dari Belanda.
Ucapannya yang terkenal, “Dari gelap terbitlah terang”, merupakan pemahaman Kartini akan ayat ke-257 Surah al-Baqarah, yang artinya “Orang-orang beriman dibimbing Allah dari kegelapan menuju cahaya.” Kartini sangat tersentuh akan kalimat dari firman Allah itu.