REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Shalat merupakan perintah Allah SWT. (Lihat QS Al-Baqarah [2]: 55, 110, 177, 277, An-Nisaa [4]:103, 162, Al-Maidah [5]:12, Al-An’am [6]:72, 92, Al-A’raf [7]:29, Al-Anfal [8]:3, At-Taubah [9]:11, 18, 71, Ar-ra’du [13]:22, Ibrahim [14]:31, 37, 40, Thaha [20]:132, Al-Hajj [22]: 78, Al-Ahzab [33]:33, dan banyak lagi lainnya).
Tujuannya adalah mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar. (QS Al-Ankabut [29]: 45). Sehingga terbentuk pribadi yang muttaqin (QS Al-Baqarah [2]: 2-5), yang khusyuk (QS Al-Mu’minun [23]: 1-2), tawadlu, dan lain sebagainya.
Shalat adalah mi’raj-nya seorang Muslim. Shalat merupakan cara seorang Muslim untuk berkomunikasi dengan Allah SWT. Karena itu, setiap melaksanakan shalat, seorang Muslim diperintahkan untuk senantiasa menyucikan diri, baik lahir maupun batin. Karena shalat merupakan cara Muslim menghadap Allah, maka sudah sepantasnya bila dalam kegiatan shalat terbetik pikiran selain hanya berkonsentrasi menghadap Allah.
Pertanyaannya, bolehkah bergerak-gerak dalam shalat, yang tentu saja gerakan itu bukan gerakan shalat? Misalnya, menggaruk (kukur-kukur: Jawa), merapikan pakaian, memukul nyamuk, dan lain sebagainya.
Para ulama sepakat, tidak sah shalat seorang Muslim apabila dalam hatinya terdapat maksud selain Allah. Misalnya memikirkan pekerjaan, makanan, keluarga, dan lainnya.
Sedangkan dalam hal bergerak-gerak dalam shalat, para ulama juga menyepakati, bahwa tidak sah shalat seorang Muslim yang bergerak-gerak dalam shalat, apalagi gerakan itu bukan pekerjaan shalat, seperti sujud, rukuk, tahiyyat, i’tidal, dan lainnya. Bila ini dilakukan, maka batallah shalatnya. Termasuk dalam hal ini adalah menolehkan kepala atau pandangannya secara sengaja. Perbuatan itu adalah barang rampasan yang dirampas setan dari shalat seorang hamba. (HR Bukhari).
Beberapa perbuatan yang dianggap membatalkan shalat itu antara lain, berbicara secara sengaja, tertawa terbahak-bahak, makan dan minum secara sengaja, melakukan terlalu banyak gerakan. Tidak menghadap kiblat secara sengaja, batalnya wudlu, mengingat-ingat shalat yang belum dikerjakan, terbukanya aurat, serta tidak tuma’ninah pada saat rukuk, sujud, maupun duduk tahiyyat.
Namun demikian, ada sebagian ulama yang menyatakan makruh bergerak dalam shalat, selama gerakan itu tidak merusak rukun shalat. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai gerakan tersebut, dan berapa jumlah maksimal gerakan lain di luar gerakan shalat.
Imam Syafii menyatakan, banyak bergerak dalam shalat maka hukumnya batal. Demikian juga dengan pendapat Imam Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Perbuatan gerak yang membatalkan shalat itu menurut kesepakatan pada ulama mazhab ini, apabila perbuatan gerak tersebut diluar gerakan shalat.
Menurut mereka, dalam shalat setiap Muslim diperintahkan agar khusyuk, sebagaimana terdapat dalam surah al-Mu’minun [23]: ayat 1-2. Beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) mereka yang khusyuk dalam shalatnya.
Syekh ‘Ala’uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi dalam kitabnya Tafsir al-Khazin, juz V, halaman 32 menyatakan, khusyuk dalam shalat adalah menyatukan konsentrasi dan berpaling dari selain Allah serta merenungkan semua yang diucapkannya, baik berupa bacaan Alquran ataupun zikir.
Dan perbuatan menggerak-gerakkan anggota badannya, dianggap merupakan perbuatan di luar gerakan shalat. Dan perbuatan itu dapat merusak ibadah shalat.
Imam Nawawi berpendapat, sebagaimana dinukil oleh Sayyid Sabiq didalam kitabnya Fiqhus Sunnah, Perbuatan yang tidak termasuk dalam pekerjaan shalat jika ia menimbulkan banyak gerak itu membatalkan, tetapi jika hanya menimbulkan sedikit gerak, itu tidaklah membatalkan. Seluruh ulama sepakat dalam hal ini, tetapi dalam menentukan ukuran yang banyak atau gerak yang sedikit terdapat empat pendapat.
Imam Nawawi menambahkan, Sahabat sepakat bahwa bergerak banyak yang membatalkan itu ialah jika berturut-turut. Jadi, jika gerakannya berselang-seling, tidaklah membatalkan shalat, seperti melangkah kemudian berhenti sebentar, lalu melangkah lagi selangkah atau dua langkah, yakni secara terpisah-pisah. Adapun gerakan ringan seperti menggerakkan jari untuk menghitung tasbih atau disebabkan gatal dan lainnya, hal itu tidaklah membatalkan shalat walaupun dilakukan secara berturut-turut, namun hukumnya makruh. (Fiqhus Sunnah).
Janganlah mengusap kerikil ketika sedang shalat, tapi jika kalian terpaksa melakukannya, maka cukuplah dengan meratakannya saja. (HR Bukari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad, nasai, Ibnu Majah, dan Abu Dawud).
Namun, para ulama mengembalikan masalah gerakan ini pada kebiasaan yang lazim. Menurut mereka, batal atau tidaknya gerakan—yang bukan gerakan shalat—sebanyak tiga kali di dalam shalat dikembalikan kepada kebiasaan yang lazim. Jika memang kebiasaan masyarakat setempat menganggap bahwa tiga kali gerakan adalah tidak termasuk dalam banyak gerakan, maka diperbolehkan. Dan jika masyarakat menganggap sebaliknya, maka batallah shalatnya.
Karena itu, berhati-hatilah dalam melaksanakan shalat, terutama pada perbuatan yang merupakan bukan gerakan shalat, seperti menggaruk, merapikan pakai, mengusap debu, dan lain sebagainya. Umat Islam diperintahkan untuk khuyuk dan meminimalkan gerakan di luar gerakan shalat, demi kehati-hatian. Wallahu A’lam.
Tabel:
Pendapat Ulama
Syafii : Makruh, maksimal tiga kali gerakan, dan tidak dilakukan secara berurutan.
Maliki : Makruh menggerakkan anggota badan selain gerakan shalat
Hanafi : Makruh menggerakkan anggota badan selain gerakan shalat
Hanbali : Membatalkan shalat