Rupanya, menurut Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Nahwa Tafsir Maudhu'iy li Suwar al-Quran al-Karim, sewaktu kecilnya Yusuf merasa bahwa dia mempunyai peranan yang disiapkan Allah SWT. Boleh jadi dia pun akan termasuk mereka yang dipilih Allah SWT memimpin masyarakat di arena kemuliaan dan kebenaran.
Memang, Yusuf adalah yang terkecil (selain Benyamin, adiknya) dari saudara-saudaranya. Tetapi perangai kakak-kakaknya Yusuf tidak menampakkan sesuatu yang istimewa, tidak juga memancarkan kebajikan.
Yusuf justru lebih dekat kepada ayahnya daripada kakak-kakaknya itu. Agaknya, ketika itu hatinya (Yusuf) berbisik, siapa tahu warisan kenabian jatuh padanya.
Ayahnya, Nabi Yaqub telah mewarisinya dari kakeknya Nabi Ishaq Alahissalam. Nabi Ishaq mewarisinya dari ayah kakeknya itu Nabi Ibrahim Alahissalam. Siapa tahu dia merupakan salah satu dari mata rantai itu.
Benar juga dugaan Yusuf, Allah SWT menyampaikan isyarat berupa berita gembira kepadanya yang mendukung kebenaran bisikan hatinya melalui mimpi yang diceritakannya itu kepada ayahnya.
Sungguh apa yang disampaikannya itu adalah suatu hal yang sangat besar, apalagi bagi seorang anak yang sejak kecil hatinya diliputi oleh kesucian dan kasih sayang ayah. Kasih sayang ayahnya disambut pula dengan penghormatan kepada beliau.
Lihatlah bagaimana Yusuf memanggil ayahnya dengan panggilan yang mengesankan kejauhan dan ketinggian kedudukan sang ayah. Yusuf memulai memanggil ayahnya dengan kata ya (wahai). Lalu dengan kata abati (ayahku) dia menggambarkan kedekatannya kepada ayahnya.
Kedekatannya kepada ayahnya diakui oleh ayat ini, sehingga bukan nama ayahnya yang disebut oleh ayat ini, tetapi kedudukannya sebagai orang tua. Ayat ini tidak berkata ingatlah ketika Yusuf berkata kepada Yaqub, tetapi ketika Yusuf berkata kepada ayahnya. Demikian Thabathaba’i melukiskan kedekatan itu.
Kesan tentang besarnya pengaruh mimpi itu pada jiwa Yusuf, dan anehnya mimpi itu terasa baginya, dilukiskannya secara sadar atau tidak dengan menyebut sebanyak dua kali dalam penyampaiannya, ini bahwa dia melihat. Demikian al-Biqa‘i menjelaskan.
Boleh jadi juga penyebutan dua kali “aku melihat” untuk mengisyaratkan bahwa dalam mimpinya itu dia melihat dahulu benda-benda langit itu masing-masing berdiri sendiri, kemudian setelah itu melihatnya lagi bersama-sama sujud atas perintah Allah SWT kepadanya (Nabi Yusuf). Demikian, yang dilihatnya melalui mimpi bukan tanggung-tanggung.
Silahkan anda membayangkan matahari, bulan dan sebelas bintang semua sujud kepada seorang manusia, anak kecil pula, dan hanya kepadanya saja sebagaimana dipahami dari pernyataannya mendahulukan kata li (kepadaku) sebelum melukiskan keadaan benda-benda alam itu sujud.
Bayangkan juga bagaimana benda-benda langit itu digambarkan sebagai makhluk-makhluk berakal. Bukankah Nabi Yusuf dalam penyampaiannya kepada ayahnya menggunakan patron kata sajidin (dalam keadaan mereka sujud yang tidak digunakan kecuali untuk menunjuk yang berakal). Ini mengisyaratkan betapa besar kedudukan Nabi Yusuf di sisi Allah SWT.
Mengantisipasi Kedengkian Saudara Nabi Yusuf
Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama, setelah mendengar cerita itu Nabi Yusuf (saat masih kecil), Nabi Yakub menyadari bahwa mimpi anaknya bukan mimpi biasa, tetapi merupakan ilham dari Allah sebagaimana kerapkali dialami oleh para Nabi.
Nabi Yakub yakin bahwa anaknya ini akan menghadapi urusan yang sangat penting dan setelah dewasa menjadi pemimpin di mana masyarakat akan tunduk kepadanya tidak terkecuali saudara-saudaranya dan ibu-bapaknya.
Nabi Yakub merasa khawatir kalau hal ini diketahui oleh saudara-saudara Yusuf, dan tentulah mereka akan merasa iri dan dengki terhadapnya serta berusaha untuk menyingkirkan atau membinasa-kannya apalagi mereka telah merasa bahwa ayah mereka lebih banyak menumpahkan kasih sayangnya kepadanya.
Tergambarlah dalam khayal Nabi Yakub bagaimana nasib anaknya bila mimpi itu diketahui oleh saudara-saudaranya, tentulah mereka dengan segala usaha dan tipu daya akan mencelakakannya.