Kamis 27 Jun 2024 07:03 WIB

Dugaan Penyiksaan oleh Polisi di Sejumlah Kasus, Bagaimana Pandangan Islam?

Polisi menegaskan tak ada penyiksaan dalam sejumlah penanganan kasus.

Rep: Bambang Noroyono / Lilis Sri Handayani/ Red: Muhammad Hafil
Polisi membantah adanya penyiksaan dalam sejumlah penanganan kasus. Foto:  Penyiksaan (ilustrasi).
Foto:

Saka mengatakan, sesampainya di kantor polisi, dia dipukuli dan disuruh mengakui apa yang tidak dilakukannya dalam kasus pembunuhan dan perkosaan terhadap Vina dan Eky. ‘’Saya dipukulin, dijejekin, disiksa segala macam, sampe disetrum. Yang mukulin, yang nyetrum anggota polisi semua. Akhirnya ngaku karena terpaksa udah gak kuat lagi,’’ kata Saka.

Terkait pengakuan Saka, polisi telah membantah. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Sandi Nugroho menyampaikan, terpidana Saka Tatal cenderung berbohong saat diperiksa penyidik terkait pembunuhan Vina dan Eky.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Sandi Nugroho mengatakan hal ini berdasarkan balai pemasyarakatan (bapas) yang mendampingi pemeriksaan Saka waktu itu.

 
Sandi pun mengatakan penyidik sudah berhati-hati dan bekerja secara profesional saat mengusut kasus ini. "Berarti penyidik berhati-hati secara profesional dalam bekerja ini keterbukaan mungkin masukannya," tutur dia.

Dikutip dari pemberitaan Republika pada 2020 lalu, peneliti Kontras Rivanlee Anandar menganalisis sejumlah penyebab penyiksaan kerap dilakukan oleh aparat. Pertama, kata Rivanlee, ada semangat 'menghukum orang' yang tinggi di kalangan penyidik.

Kedua, aparat kerap ingin segera menuntaskan kasus tanpa memahami persoalan secara komprehensif. Ketiga, Rivanlee menghubungkannya dengan relasi kuasa. 

"Relasi kuasa dan kultur kekerasan yang membudaya di tubuh kepolisian," ujar Rivanlee pada Sabtu (11/7/2020).

Dengan berulangnya kasus penyiksaan oleh aparat baik polisi, Kontras menduga proses pengawasan di internal institusi hukum tak berjalan sebagaimana mestinya. "Jangan-jangan, selama ini proses pengawasan tidak berjalan dengan maksimal, sehingga penyidikan kerap diiringi praktik penyiksaan dan berulang," kata Rivanlee.

Ia juga menilai hal pencopotan aparat yang kerap menjadi solusi dalam terjadinya kasus penganiayaan tidak cukup. "Dalam beberapa kasus, pencopotan kepala (wilayah) tidak cukup menjawab persoalan, karena dianggap selesai. Sementara pelaku tidak dihukum secara pidana," kata Rivanlee.

Tiap kasus yang terduga pelakunya adalah anggota kepolisian, kata Rivan harusnya didorong ke proses peradilan umum sebagai bukti bahwa semua golongan sama di mata hukum. "Pengungkapan kebenaran dari kasus ini menjadi salah satu indikator bagi perbaikan penegakan hukum di Indonesia," kata dia.

Penyiksaan itu, kata Rivanlee, menyangkut pola yang terus berulang, sehingga proses pengungkapannya harus mengedepankan pro justicia.

 

 

sumber : Dok Republika / Antara

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement