Ahad 16 Jun 2024 21:02 WIB

Khutbah Idul Adha: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim untuk Peradaban Umat Manusia

Ibadah qurban mempunyai dimensi spiritual dan sosial

Ilustrasi sholat Idul Adha. Ibadah qurban mempunyai dimensi spiritual dan sosial
Foto:

Para peneliti tersebut menemukan bahwa orang tidak mengekspresikan kebahagiaan saat mengingat menghabiskan uang untuk diri sendiri sebanyak dan sebaik saat mereka mengingat tindakan memberi kepada orang lain. 

Hasil riset Elizabeth Dunn, pakar psikologi sosial dari University of British Columbia, Vancouver, Kanada, menyimpulkan bahwa semakin besar uang atau harta yang dibelanjakan untuk menolong sesama atau kepentingan orang lain terbukti menambah kebahagiaannya sebagaimana dimuat dalam Jurnal SCIENCE (2008) dengan judul tulisan yang mengejutkan: “Spending Money on Others Promotes Happiness” (Membelanjakan Uang untuk Orang Lain Meningkatkan Kebahagiaan).

Temuan ilmiah tersebut menunjukkan, bahwa yang terpenting bukanlah jumlah uang yang kita miliki, tetapi bagaimana kita membelanjakannya. Orang yang menyedekahkan uang atau hartanya untuk membantu mereka yang membutuhkan ternyata lebih bahagia daripada mereka yang menghamburkan uang untuk kepuasan diri sendiri. Logika terbalik yang jamak terjadi justru mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk kepentingan pribadi demi mengejar kebahagiaan semu.

Momentum Idul Adha yang menekankan prinsip solidaritas dan soliditas publik jika benar-benar dijadikan landasan untuk membangun negeri dapat dimulai saat ini. Seberat apapun problem yang dihadapi oleh negara ini, dengan modal semangat pengorbanan dan solidaritas kemanusiaan, niscaya berbagai masalah akan teratasi. Sebab, rakyat dan para pemimpinnya merasa “berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing”. Langkah ini juga akan mengikis sikap mementingkan diri sendiri dan mencintai harta (hubbud dunya) secara berlebihan.  

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Wa lillahil Hamd

Kaum Muslimin jamaah Shalat Idul Adha rahimakumullah

Berdasarkan paparan di atas, ibadah qurban mempunyai dua nilai: kesalehan spiritual dan kesalehan sosial. Kesalehan spiritual dalam hal ini adalah penyerahan diri kepada Allah SWT dan mengekang egoisme, sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim. Sedangkan kesalehan sosial tercermin dari semangat rela mengorbankan diri, seperti dalam diri Ismail. Sikap ini penting untuk diteladani, terutama bagi generasi muda Indonesia. 

Ismail adalah figur anak saleh, atau prototipe generasi muda yang baik. Ia berpandangan jauh ke depan atas dasar spiritualitas yang tinggi, berani mengambil sikap di saat situasi yang sulit, rela berkorban, dan berbakti kepada orang tuanya. Ismail bukanlah pemuda penakut yang mudah putus asa, tapi seorang lelaki muda gentleman yang berani mengambil risiko atas sebuah prinsip yang diyakininya. Ketika hendak dikorbankan oleh ayahnya tidak ada sedikitpun keraguan dalam hatinya dan berkata:

يَٰأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى إِن شَاءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

“...Wahai ayahku, jika memang itu perintah Tuhanmu, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah engkau akan menjumpaiku termasuk orang yang sabar.” (QS. As-Shaffat: 102).

Ismail juga dikenal sebagai sosok yang jujur. Dalam surat Maryam ayat 55 dijelaskan bahwa Ismail adalah sosok pemuda yang “shadiqal wa’di”, yaitu jujur dan menepati janji. Imam al-Thabari dalam kitab Jami’ul Bayan menjelaskan bahwa ada dua dimensi kejujuran dalam diri Ismail.

Pertama, kejujuran yang dibangun dalam relasi antar manusia, dan kedua, kejujuran yang bersifat lebih eksklusif antara manusia dengan Tuhannya. Ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan begitu, berbohong adalah termasuk dosa besar (kabura maqtan), sebab ia telah melakukan dua hal yaitu menipu orang lain dan ingkar janji di mata Allah SWT.

Itulah hebatnya Ismail. Andai saja generasi muda Indonesia mampu meneladani Ismail, tentu bangsa ini akan bergerak lebih cepat ke arah yang lebih maju dan sejahtera. Kesalehan Ismail ini sudah sepatutnya menjadi inspirasi dan teladan bagi generasi muda zaman sekarang. Apalagi, sejak 2012 lalu hingga 2035, Indonesia telah dan akan dibanjiri generasi muda usia produktif, atau yang biasa disebut  bonus demografi. 

Yaitu, periode jumlah tenaga kerja produktif jauh lebih banyak daripada tenaga non produktif. Puncak bonus demografi adalah antara tahun 2020-2035, di mana jumlah penduduk produktif (usia 15-64) akan jauh lebih besar dari pada usia non produktif (di bawah 15, dan di atas 64). 

Ini artinya peranan generasi muda sekarang sangat strategis. Namun, bangsa ini juga tengah dihadapkan pada problematika yang menimpa generasi muda; mulai dari kasus penyalahgunaaa NARKOBA, miras, terorisme, dan kekerasan. Menurut Indonesia Drugs Report 2022 yang dirilis oleh Pusat Penelitian Data, dan Informasi Badan Narkotika Nasional (Puslitdatin BNN) prevalensi jumlah penduduk usia 15-65 tahun yang terpapar narkoba pada 2021, setidaknya pernah pakai, pada 2021 adalah sejumlah 4,8 juta jiwa.

Menurut data mereka, rentang usia pertama kali dalam menggunakan narkoba adalah pada 17 sampai 19 tahun. Di sinilah mengapa usia remaja menjadi rentang usia pengguna narkoba terbanyak dan pada usia mereka 35 sampai 44 tahun, ketergantungan ini dapat menjadi tanpa henti. Selain itu, kekerasan yang melibatkan pemuda juga masih terus menghiasi berita-berita di media massa, seperti bullying, tawuran, dan geng motor.  

Hal ini bisa terjadi antara lain dikarenakan cara berfikir yang pendek, tidak mempunyai harapan hidup, serta mementingkan diri sendiri. Apalagi didasarkan pada sebuah keyakinan yang ingin cepat mendapatkan kesenangan hidup dengan cara mengorbankan diri dan bahkan menyakiti orang lain. Ini tidak boleh dibiarkan.

Bagi orang tua dan juga generasi muda, perlu meneladani kisah keluarga Nabi Ibrahim AS, supaya bisa terhindar dari hal-hal negatif. Sebab, Nabi Ibrahim telah berhasil membangun keluarga dengan karakter pasrah total kepada Allah SWT. dan gigih berjuang untuk meraih apa yang diinginkan dengan kesungguhan tekad dan komitmen ilahiyah. 

Dalam istilah agama, hal ini lebih kita kenal sebagai ikhtiar dan tawakkal (i’qil wa tawakkal). Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan, karena merupakan satu-kesatuan yang saling berkaitan dan saling mendukung untuk tercapainya keseimbangan dalam perjalanan kehidupan untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan akhirat.  

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement