Senin 08 Apr 2024 13:09 WIB

Khutbah Idul Fitri: Rajut Ukhuwah dan Kepedulian Sosial, Spirit Idul Fitri Bangun Negeri

Idul Fitri adalah momentum meneruskan kebaikan selama Ramadhan

Ilustrasi sholat Idul Fitri. Idul Fitri adalah momentum meneruskan kebaikan selama Ramadhan
Foto:

Oleh : Prof KH Asrorun Niam Sholeh Ketua MUI Bidang Fatwa

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil Hamd 

Hadirin, Jamaah Shalat 'Id –rahimakumullah-

Manusia diciptakan menyandang dua status, sebagai abdullah dan sebagai khalifah. Pola relasinya harus berimbang antara hablum minallah dan habulm minannas. Hubungan itu tidak boleh timpang. Dengan Allah SWT baik, rajin shalat dan seluruh ibadah mahdlah terlaksananya secara baik, tapi dengan kerabat, tetangga, ataupun sahabat kurang baik, ini tidak dibenarkan. Puasa kita akan sia-sia sungguhpun kita tunaikan secara baik, seluruh syarat rukunnya kita jaga, jika ternyata kita tidak menjaga lisa dan tindakan kita menyakiti sesama. Warning Nabi SAW:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan kotor, maka Allah SWT tidak butuh dia meninggalkan makan dan minum.” 

Bahkan, dalam hadits lain, orang seperti itu digambarkan sebagai orang yang “muflis”; rugi besar, sebagaimana sabdanya:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ" (رواه مسلم والترمذي)

Untuk itu, menjaga keseimbangan antara hablum minallah dan hablum minannas, menjadi sangat penting. Dalah salah satu instrumen yang sangat penting dalam hubungan antar sesama manusia (hablum minannas) adalah silaturahim. 

"مَن أحبَّ أنْ يُبْسَطَ لَهُ فِيْ رِزْقِهِ، ويُنسَأَ لَهُ فِي أثره، فليَصل رحِمه"   (متفق عليه)

“Barangsiapa yang ingin rizqinya diperluas dan umurnya ditambah, maka hendaklah ia menyambung silaturahim.” (Muttafaq alaih).

Hakikat silaturahim adalah upaya menyambung tali kekerabatan; menyambung yang pernah terputus. Residu pileg dan pilpres bisa jadi merenggangkan tali kekerabatan, bahkan sampai memutus persahabatan. Saatnya kita sambung kembali dengan komitmen rekonsiliasi, jauh dari egoisme diri, apalagi merasa benar sendiri. Bukan merupakan bentuk silaturrahim jika hanya membalas kunjungan sanak kerabat, atau berkunjung pada handai taulan yang sudah akrab dengan kita. Atau sekadar berkumpul dengan cyrcle nya semata, tanpa ada upaya membangun silaturrahim dengan pihak-pihak yang berbeda. Menyambung tali persaudaraan baru bermakna jika kita memperdekat saudara yang jauh, meski harus berpeluh, berkorban tenaga dan biaya untuk sekedar berjumpa dan bertatap muka. Sabda nabi:

صِلْ مَنْ قَطَعَكَ وَأَحْسِنْ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْكَ وَقُلِ الْحَقَّ وَلَوْعَلَى نَفْسِكَ 

“Sambung tali silaturahim terhadap orang yang memutuskannya, berbuat baiklah terhadap orang yang telah berbuat jahat kepadamu dan berkatalah benar sekalipun akan mengenai dirimu.”

 “لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا”   )رواه البخاري(

“Bukan termasuk orang yang bersilaturahim dengan kunjungan balasan, orang yang bersilaturrahmi adalah yang apabila diputus silaturahim ia menyambungkannya.” (HR Al-Bukhari).

Berat memang, jika kita tidak memiliki mental untuk berjuang dan menaklukkan ego kita; namun beratnya silaturrahim seimbang dengan posisi agungnya. Bahkan nabi saw menegaskan bahwa silaturrahmi adalah bagian dari keimanan kita. Sabdanya:

...وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ ...(رواه البخاري)

“.... Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka dia wajib menjaga silaturahim.... ”

Kita harus bergerak maju, menatap ke depan, dimulai dengan komitmen merajut kebersamaan. Kita harus meneguhkan komitmen agar hari ini lebih baik dari kemarin, dan esok harus lebih baik dari hari ini. Salah satu modal utama untuk maju adalah persatuan. Rasululah SAW memberikan panduan kepada kita:

مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ، وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهَ فَهُوَ مَغْبُوْنَ، وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنَ (رواه الحاكم)

“Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin maka dia terlaknat.”

 Indikator kesuksesan kita dalam hidup ini, baik pejabat maupun rakyatnya, penguasaha dan pekerjanya, adalah sejauh mana mendatangkan manfaat untuk sesama.

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ 

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain.” 

Ramadhan yang penuh dengan nilai-nilai kebaikan, dapat menjadi motor penggerak untuk menyelesaikan persoalan sosial yang mucul di tengah masyarakat kita. Puasa Ramadhan bukan hanya terbatas pada cermin ketaatan individu yang sifatnya vertika dan persoal (hablum minallah), akan tetapi etos Ramadhan dapat menjelma sebagai penegasan hubungan kemanusiaan (hablum minannas), menjadi solusi masalah sosial (al-hall al-ijtima’i), khususnya terkait dengan permasalahan kontemporer kemasyarakatan dan kebangsaan.

Di level keluarga, spirit Ramadhan dapat menjadi momen yang tepat untuk membangun harmoni keluarga, menguatkan sendi hubungan keluarga, yang sebelumnya mengalami kelonggaran akibat berbagai kesibukan. Relasi sosial dalam keluarga kita pasti mengalami dinamika dan pasang surut; kadang dekat kadang jauh, kadang sepaham kadang berselisih paham, kadang bersama kadang juga bersimpang jalan. 

Momentum Idul fitri ini, kita bangun kembali hubungan harmonis di lingkungan keluarga; dimulai hubungan anak-ayah-ibu untuk saling memaafkan, berkomunikasi dan menumbuhkan sikap saling berbagi, baik duka maupun suka. Selanjutnya, kita ajarkan kepada anak-anak untuk mempererat tali silaturrahmi dengan sanak keluarga, dengan memegang etika penghormatan kepada yang lebih tua serta menyayangi kepada yang lebih muda. Pola relasi ini diajarkan  Rasulullah SAW melalui sabdanya:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنا

“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi orang yang lebih muda dan tidak menghormati yang lebih tua.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement