Senin 08 Apr 2024 13:09 WIB

Khutbah Idul Fitri: Rajut Ukhuwah dan Kepedulian Sosial, Spirit Idul Fitri Bangun Negeri

Idul Fitri adalah momentum meneruskan kebaikan selama Ramadhan

Ilustrasi sholat Idul Fitri. Idul Fitri adalah momentum meneruskan kebaikan selama Ramadhan
Foto:

Oleh : Prof KH Asrorun Niam Sholeh Ketua MUI Bidang Fatwa

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil Hamd

Hadirin, Jamaah Shalat 'Id –rahimakumullah-

Ukhuwwah atau persaudaraan dalam perspektif Islam merupakan fitrah keislaman dan kemanusiaan kita. Setidaknya ada tiga klasifikasi ukhuwwah, sebagaimana dikenalkan oleh KH Ahmad Siddiq.  Pertama, Ukhuwah Islamiyah, persaudaraan sesama Muslim. Sekalipun kita berbeda dalam madzhab fikih, seperti soal tata cara menetapkan awal Ramadhan dan Syawal misalnya, namun kita diikat oleh solidaritas ke-Islaman. 

Perbedaan cara pandang keagamaan antar umat Islam tidak perlu menjadi perpecahan. Prinsip ukhuwah ini menjadikan hubungan antar sesama umat Islam menjadi harmonis dan mampu menjadi sebuah kekuatan besar untuk bersama-sama membumikan nilai-nilai Islam. Ukhuwah Islamiyah menjadi sebuah ikatan spiritual, tidak hanya secara emosional.

Kedua, ukhuwah wathaniyah, persaudaraan sesama bangsa Indonesia. Dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, konsep ini menjadi pondasi dalam melakukan pergaulan sosial dan menjalin harmoni di tengah keragaman elemen bangsa, baik dari sisi agama, suku, ras, dan golongan. Namun, kita diikat oleh persaudaraan kebangsaan. Bangunan ukhuwah wathaniyah tidak boleh tidak harus menjadi sebuah prinsip bersama dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai dan saling menghargai satu sama lain.

Ketiga, ukhuwah basyariyah, persaudaan sesama manusia. Sungguhpun kita berbeda agama, berbeda suku, berbeda bangsa, berbeda kewarganegaraan, itu semua tidak jadi alasan untuk tidak bersatu. Kita diikat oleh ikatan kemanusiaan universal.

Sesama manusia adalah bersaudara karena berasal dari ayah dan ibu yang satu, yakni Adam dan Hawa. Hubungan persaudaraan ini merupakan kunci dari seluruh jenis persaudaraan, terlepas dari latar belakang agama, suku, bangsa, dan sekat geografis. Nilai utama dari persaudaraan ini adalah kemanusiaan. Rasulullah SAW menjadikan pesan kesetaraan dan persaudaraan universal ini menjadi salah satu hal terpenting ketika beliau menyampaikan khutbah perpisahan, di antaranya sebagaimana sabdanya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، كُلُّكُمْ لِآدَمَ، وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ

“Wahai sekalian umat manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu satu (esa). Nenek moyangmu juga satu, kamu semua berasal dari Adam. sedangkan Adam berasal dari tanah.” (HR Ahmad).

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil Hamd

Hadirin, Jamaah Shalat 'Id –rahimakumullah-

Tidak ada seorangpun terbebas dari kesalahan dan dosa; baik penguasa maupun rakyat jelata; ulama dan orang awamnya; pejabat maupun pegawainya. Seluruh kita pernah berbuat salah dan dosa, baik dosa kepada Pencipta maupun kepada sesama manusia. Namun, sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat. Nabi SAW bersabda: 

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap anak adam itu memiliki kesalahan, dan sebaik-baik orang yang salah adalah mereka yang bertaubat” (HR. Ahmad dan Ibn Majah)

Imam al- Nawawi dalam kitab Al-Adzkar (2/845) menjelaskan, ada 3 (tiga) syarat dalam melaksanakan taubat nasuha atas dosa yang dilakukan kepada Allah SWT:

اعلم أن كل من ارتكب معصية لزمه المبادرة إلى التوبة منها ، والتوبة من حقوق الله تعالى يشترط فيها ثلاثة أشياء : أن يقلع عن المعصية في الحال . وأن يندم على فعلها . وأن يعزم ألا يعود إليها .

“Ketahuilah bahwa setiap orang yang melaksanakan dosa maka wajib baginya segera melakukan taubat (nasuha). Adapun taubat dari dosa kepada Allah (haqqullah) ada tiga syarat; (i) berhenti dari perbuatan dosa itu seketika itu juga. (ii) menyesali perbuatannya; dan (iii) berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi.” 

Sementara itu, jika kesalahan itu terhadap sesama manusia, maka di samping ketiga syarat di atas, harus ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu membebaskan diri dari hak manusia yang dizalimi dengan cara, apabila menyangkut harta dengan cara mengembalikan harta tersebut atau meminta diikhlaskan; dan apabila menyangkut non-materi seperti memfitnah, melakukan ghibah, menipu, dan sejenisnya maka hendaknya meminta maaf kepada yang bersangkutan.

Dalam konteks ini, sebagai orang yang memiliki kesalahan harus terlebih dahulu berinisiatif untuk meminta maaf. Sebaliknya, tanpa diminta, kita berinisiatif untuk membuka pintu maaf dan selalu siap memaafkan. Bisa jadi, saat interaksi sosial, termasuk saat pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden beberapa waktu lalu, kita menyinggung, menyindir, dan/atau menyakiti orang lain, sengaja atau tidak sengaja, saatnya kita proaktif meminta maaf dan melakukan rekonsiliasi. Sebaliknya, kita buka dada kita lebar-lebar untuk memaafkan orang yang bersalah kepada kita, memfitnah kita, menjelekkan kita, tanpa harus menunggu orang lain meminta maaf. Sikap kesatria ini akan menyebabkan kemuliaan kita, sebagaimana sabda baginda Rasulullah SAW:

"مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا. وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ”

“Tidaklah sedekah itu mengurangi harta dan Tidaklah Allah menambah seorang yang suka memberi maaf kecuali kemuliaan, dan tidaklah seorang yang tawadlu’ (merendahkan diri) kepada Allah kecuali ditinggikan derajatnya oleh Allah.” (HR Muslim)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement