REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Di berbagai media massa sering kali tersiar berita tentang adanya pembunuhan berencana. Termasuk yang belakangan ramai yakni dugaan pembunuhan anak bernama Dante oleh pacar ibunya.
Pembunuhan ini berarti bahwa pelaku memiliki niat untuk melakukan pembunuhan. Dalam Islam, apakah niat melakukan kejahatan sudah terhitung dosa?
Dalam Islam, ketika seseorang memutuskan untuk melakukan suatu kejahatan dan berusaha untuk melaksanakannya tetapi gagal terlaksana, maka yang bersangkutan tetap berdosa dan akan dimintai pertanggungjawabannya.
Ulama Tafsir Imam Al Qurthubi menjelaskan hal tersebut, dengan mengutip firman Allah SWT sebagai berikut:
وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui." (QS. Ali Imran ayat 135)
Imam Al Qurthubi menafsirkan kalimat "wa lam yushirru" sebagai keinginan atau kehendak yang nyata dan indikasi yang meyakinkan sebagaimana yang pernah disampaikan oleh qadhi (hakim) Abu Bakar bin Al Thayyib, yaitu:
أن الإنسان يؤاخذ بما وطّن عليه بضميره، وعزم عليه بقلبه من المعصية.
"Seseorang bertanggungjawab atas apa yang telah ia putuskan dalam hati nuraninya dan berusaha melakukannya dalam hati yang telah bermaksiat itu."
Dijelaskan pula oleh Imam Al Qurthubi saat menafsirkan "...Siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih" (QS. Al Hajj ayat 25) dan "Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita" (QS. Al Qalam ayat 20), bahwa mereka dihukum sebelum mereka melakukannya karena adanya niat dan usaha.
Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda mengenai hal tersebut. Diriwayatkan Abu Bakrah RA, Nabi SAW bersabda:
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ
"Jika dua orang Muslim saling bertemu (untuk berkelahi) dengan menghunus pedang mereka masing-masing, maka yang terbunuh dan membunuh masuk neraka". Aku (Abu Bakrah) bertanya, "Wahai Rasulullah, ini bagi yang membunuh, tapi bagaimana dengan yang dibunuh?" Lalu Nabi SAW menjawab, "Dia juga ingin membunuh temannya." (HR. Bukhari)
Hal itulah yang menjadi pertimbangan hakim atau qadhi, dan ini jugalah yang disepakati oleh sebagian besar salaf dan ulama, termasuk para fuqaha, ulama hadits, dan ulama.
Adapun hadits lain, yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW meriwayatkan sesuatu dari Rabbnya Tabaraka wa Ta'ala, sebagai berikut:
وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ له سَيِّئَةً وَاحِدَةً
"Jika dia berniat mengerjakan amalan kejelekan tapi belum melakukannya, maka Allah akan catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Dan jika dia berniat melakukan keburukan dan mengerjakannya, maka Allah akan mencatat baginya satu keburukan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Al Qurthubi menjelaskan, yang dimaksud "lam ya'lamha" (tapi belum melakukannya), yaitu tidak berusaha melakukan keburukan berdasarkan bukti-bukti. Sedangkan maksud dari "in hamma biha fa amilaha" (jika mengerjakannya), yaitu berusaha untuk melakukannya berdasarkan bukti-bukti.
Banyak ulama yang berpandangan, jika niat melakukan perbuatan jahat itu pupus sebelum perbuatan itu terjadi, maka orang tersebut tetap akan mempertanggungjawabkannya, tetapi hukumannya tidak sama dengan hukuman ketika perbuatan jahat itu dilakukan.
Imam An-Nawawi menukil pernyataan Qadhi Iyad, yang berkata sebagai berikut:
Sebagian besar generasi salaf dan ulama, termasuk para ahli fiqih dan ulama hadits, sepakat terhadap apa yang diyakini qadhi Abu Bakar bin Al Thayyib, karena hadits-hadits yang telah disebutkan di atas menunjukkan adanya pertanggungjawaban terhadap perbuatan hati.
Kehendak atau keinginan untuk melakukan perbuatan jahat itu tercatat sebagai kejahatan, tetapi bukan kejahatan atas perbuatannya karena yang bersangkutan tidak melakukannya dan hal lain yang mencegahnya dari perbuatan jahat tersebut, di samping rasa takut kepada Allah SWT dan taubat.
Namun, desakan dan keinginan untuk berbuat kejahatan adalah dosa, sehingga tetap tercatat sebagai dosa. Dan jika keinginan tersebut dilakukan, maka dicatat sebagai dosa yang kedua. Dan jika ia meninggalkannya karena ketakwaan kepada Allah SWT maka dicatat sebagai amal shaleh.
Hal tersebut sebagaimana hadits riwayat Abu Hurairah RA. Dalam hadits ini, Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah SWT berfirman:
إِنْ تَرَكَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً إِنَّمَا تَرَكَهَا مِنْ جَرَّايَ
"...Bila dia meninggalkannya maka catatlah untuknya satu kebaikan. Karena dia meninggalkannya karena Aku..." (HR. Muslim)
Karena itu, ketika seorang Muslim meninggalkan suatu niat kejahatan karena takut kepada Allah SWT dan dia berusaha melawan kecenderungan untuk berbuat jahat serta hawa nafsunya, maka hal tersebut menjadi kebaikan.