Ahad 03 Sep 2023 13:17 WIB

Kasus Bayi Tertukar, Jika Anaknya Perempuan Lantas Bagaimana Hukum Perwaliannya?

Kasus bayi tertukar bisa berdampak pada hukum nasab dan perwalian

Rep: Fuji E Permana, Shabrina Zakaria / Red: Nashih Nashrullah
Polres Bogor mengungkapkan dua bayi yang dilahirkan di RS Sentosa Bogor pada Juli 2022 memang tertukar dari hasil tes DNA yang dilakukan pada Senin (21/8/2023).
Foto: Republika/Shabrina Zakaria
Polres Bogor mengungkapkan dua bayi yang dilahirkan di RS Sentosa Bogor pada Juli 2022 memang tertukar dari hasil tes DNA yang dilakukan pada Senin (21/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Pada zaman sekarang banyak orang melahirkan di rumah sakit (RS). Memang sangat jarang ada kasus bayi tertukar, tetapi kasus terakhir terjadi RS Sentosa, Bogor, Jawa Barat. Kasus bayi tertukar ini menghebohkan publik dan hasil tes DNA menguatkan kedua bayi memang tertukar.   

Pertanyaannya, jika ada bayi perempuan yang tertukar kemudian dibesarkan hingga menikah, bagaimana hukumnya?   

Baca Juga

Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Miftahul Huda, menjelaskan, selama tertukarnya bayi tersebut tanpa kesengajaan dan tidak diketahui, anak tersebut tetap sah menjadi anak kandung dan perwalian serta hukum waris pun dapat dilakukan.

"Karena secara pengetahuan dan keyakinan yang bersangkutan anak tersebut adalah anak kandungnya," kata Kiai Miftahul kepada Republika.co.id, Ahad (3/9/2023)

Namun, lain cerita jika bayi yang tertukar itu diketahui telah tertukar. Maka perlu ada usaha untuk mencari ayah kandung aslinya untuk menjadi wali nikah. 

Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Abdul Muiz Ali mengatakan, jika ternyata diketahui bayinya tertukar, pastikan atau cari dulu tertukar dengan siapa. Sampai betul-betul ada penjelasan menurut ahli bahwa itu anaknya sendiri atau tertukar. Kalau anaknya sendiri, maka dalam hal nikah atau waris dan lain sebagainya berlaku ketentuan sebagaimana yang diatur dalam urutan wali nikah. 

"Tapi, jika betul anak ini tertukar, anak tersebut tidak punya hubungan nasab dengan orang atau ayah yang mengasuhnya, orang tua yang mengasuhnya tidak boleh jadi wali nikah dan anak tersebut tidak mendapatkan warisan dari ayah asuhnya untuk yang menikahkan hak walinya adalah hakim (di KUA)," kata Kiai Muiz. 

Kiai Muiz juga menyampaikan, wali nikah adalah orang yang punya otoritas syari untuk menjadi wali. Ada urutan dalam fikih yang berhak menjadi wali nikah. 

Baca juga: Kecemburuan Hafshah, Putri Umar Bin Khattab yang Memicu Turunnya Ayat Alquran 

Menurut Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghayah wa Taqrib, wali paling utama adalah ayah, kakek (ayahnya ayah), saudara laki-laki seayah seibu (kandung), saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu (kandung), anak laki-laki saudara laki-laki seayah, paman dari pihak ayah, dan anak laki-laki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya, jika tidak ada waris ‘ashabah, bisa diwakilkan oleh hakim. 

"Bagi perempuan yang tidak punya wali nikah, yang menikahkan adalah hakim. Zaman dulu sultan, dalam kontek keindonesiaan sekarang hakim bisa melalui KUA," ujar Kiai Muiz. 

Baca juga: https://news.republika.co.id/berita/s0becx409/ibu-dian-ungkap-fakta-baru-dan-kronologi-bayinya-tertukar-di-rs-sentosa-part2

Kiai Muiz juga menjelaskan, bagaimana jika ada anak perempuan diasuh orang lain, menjadi anak angkat atau anak tiri. Maka tetep yang menjadi wali nikah adalah ayah kandungnya kalau masih ada, bukan ayah asuh yang menikahkan.

"Sering kejadian, karena mengasuh sejak kecil, sudah dewasa akan menikahkan, kemudian ayah asuhnya mau bertindak sebagai wali nikah, maka tidak boleh," ujar Kiai Muiz. 

Jika kasusnya anak perempuan dibuang oleh orang tuanya, kemudian hidup di panti asuhan sehingga tidak diketahui siapa orang tuanya dan keluarganya. Kiai Muiz mengatakan, dalam kasus seperti itu, maka yang menikahkan adalah hakim dalam hal ini pihak KUA. 

Pada Jumat, dua ibu bayi tertukar, Siti Mauliah...

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement