3. Pelembagaan Kejahatan
Kejahatan kaum Luth dilembagakan, dalam arti begitu meluas sehingga dianggap sebagai hal yang wajar. Ini kemudian berkembang menjadi konvensi atau norma sosial yang mapan. Itu menjadi bagian dari arus utama masyarakat.
Bisa dikatakan, homoseksualitas dinasionalisasi dan merupakan manifestasi budaya. Tampaknya tepat sekitar waktu itu pelembagaan kejahatan telah berkembang sepenuhnya. Karena itu lah Nabi Lurh mencela kaumnya karena melakukan kekejian dan mempraktekkan kejahatan mereka bahkan dalam dewan dan pertemuan umum mereka.
Allah berfirman, “Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar.” (Qs Al 'Ankabut ayat 29).
Nabi Luth juga mengkritik mereka karena melakukan perbuatan asusila homoseksual mereka secara terbuka, sehingga mereka dapat melihat satu sama lain saat melakukannya. Begitu asyiknya mereka dengan “tradisi” mereka, sehingga mereka melakukan perampokan di jalan raya. Kemudian, yang menjadi bagian dari kejahatan itu juga pemerkosaan.
4. Tirani Mayoritas (Tirani Massa)
Tirani mayoritas adalah di mana pihak mayoritas mendominasi sehingga pihak minoritas terkalahkan kepentingannya. Nah, apa yang terjadi pada Nabi Luth dan beberapa pengikutnya adalah kasus terburuk dari tirani mayoritas. Meskipun mereka berada di jalan yang benar, mereka harus menderita.
Mereka tidak menikmati hak maupun status dalam masyarakat. Satu-satunya "kejahatan" mereka adalah bahwa mereka minoritas dan berbeda. Oleh karena itu, kaum Sodom berencana untuk mengusir Nabi Luth, anggota keluarganya yang beriman dan sekelompok kecil orang beriman, dari rumah dan kota mereka secara bersamaan.
Allah SWt berfirman, “Jawaban kaumnya tidak lain hanya dengan mengatakan, “Usirlah Lut dan keluarganya dari negerimu; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (menganggap dirinya) suci.” (QS An-Naml ayat 56).
5. Luth dan kebebasan berkeyakinan
Sambil mengajak kaumnya ke jalan Allah, Nabi Luth menyampaikan gagasan tentang kebebasan. Kebebasan berkeyakinan menjadi prioritasnya. Dia menganut gagasan bahwa tidak ada paksaan, atau manipulasi, dalam agama.
Idealnya, tugas Nabi Luth ada dua. Pertama, untuk menyampaikan dan mengajarkan risalah ilahi secara bebas. Kedua, untuk menciptakan lingkungan yang kondusif di mana orang akan dapat dengan bebas menerima atau menolak risalah tersebut.
Dia tahu bahwa hanya di lingkungan yang bebas kebenaran bisa berkembang dan kepalsuan bisa terungkap dan dikalahkan. Nabi Luth sering menargetkan pemikiran dan pola perilaku kaumnya sebagai penghalang menuju kebebasan. Orang-orang mengira mereka bebas dan baik-baik saja. Namun, sedikit yang mereka tahu bahwa mereka adalah budak kebodohan dan dosa liar mereka.
Nabi Luth ingin membebaskan dan mencerahkan mereka melalui pesan monoteistik Islam (tauhid), dan melalui ketundukan serta pengabdian mereka hanya kepada Allah. Dia selalu memberi tahu mereka bahwa dia bagi mereka hanyalah seorang utusan yang dapat dipercaya.
Allah SWT berfirman, “Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu; imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam.” (QS Asy-Syu'ara' Ayat 163-164).
Bahwa istrinya, terlepas dari segalanya, tidak mempercayai prinsip-prinsip yang disampaikan Nabi Luth. Alquran juga menggunakan hal tersebut sebagai simbol kebebasan, yang harus dibarengi dengan tanggung jawab.