Selasa 20 Jun 2023 17:35 WIB

Wukuf di Arafah dan Latar Sejarahnya

Wukuf dinilai penting ditinjau dari sisi pelaksanaannya.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Jamaah haji saat wukuf di Padang Arafah, Makkah, Arab Saudi (ilustrasi).
Foto: Antara
Jamaah haji saat wukuf di Padang Arafah, Makkah, Arab Saudi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wukuf di Arafah bagi jamaah haji merupakan rukun dari empat rukun haji yang ada. Wukuf merupakan rukun yang penting dan utama dalam pelaksanaan ibadah haji.

Lantas bagaimanakah latar belakang sejarah dan profil Arafah?

Baca Juga

Zuhairi Misrawi dalam buku Mekkah menjelaskan, wukuf dinilai penting ditinjau dari sisi pelaksanaannya yang dibatasi dalam waktu tertentu, yakni hanya pada tanggal 9 Dzulhijjah. Berbeda dengan rukun-rukun haji lainnya yang dapat dilaksanakan kapan saja, meski tetap dalam bingkai bulan-bulan haji yang telah ditentukan.

Wukuf juga merupakan gambaran berkumpulnya umat manusia dari seluruh penjuru dunia, dari berbagai ras, bangsa, status sosial, semuanya berkumpul dengan tujuan yang sama yakni beribadah hanya semata-mata kepada Allah SWT.

Secara maknawi, wukuf di Arafah berarti berdiam diri dengan berdoa dan memperbanyak zikir. Yang mana ini dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan penanggalan Hijriyah.

Sejarah singkat Padang Arafah

Arafah merupakan tempat yang mengandung banyak sejarah. Sebelum Islam hadir, Arafah identik erat dengan sejarah yang berkelindan dari para Nabi, salah satunya datang dari Nabi Ibrahim AS.

Arafah adalah padang pasir yang menyimpan sejarah manusia. Dahulu, Nabi Ibrahim mengharapkan kelahiran anak. Sebab, bapak para Nabi itu belum mendapatkan anak meski sudah puluhan tahun menikah. Bahkan, dia mengatakan, seandainya dikaruniai anak, Ibrahim siap menjadikan anak itu sebagai kurban untuk Allah.

Allah memerhatikan perkataan itu. Pernikahan Ibrahim dengan Sarah menghasilkan seorang anak, Ismail. Ibrahim kemudian bermimpi menyembelih anaknya. Dia bangun, kemudian merenungkan mimpi itu pada 8 Dzulhijjah.

Dia bertanya-tanya, apakah mimpi tersebut benar dari Allah atau bukan. Sehari kemudian dia mengetahui ('arafa) benar mimpi itu dari Allah. Ketika itu, Ibrahim berada di padang Arafah. Dengan berat hati, Ibrahim berniat menyembelih Ismail pada 10 Dzulhijjah.

Namun, hal itu tak terjadi, karena Allah memerintahkan untuk menyembelih hewan kurban. Sehingga kini, umat Islam mengenal syariat kurban yang pada hakikatnya tak lepas dari sejarah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail AS.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement