REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Alquran sarat dengan keindahan bahasa. Gaya bahasa yang ada di dalamnya sangat dinamis, sehingga tak lekang oleh waktu dan selaras dengan setiap perkembangan zaman.
Salah satu gaya untuk memperindah bahasa adalah metafora. Gaya bahasa metafora adalah untuk menyatakan sesuatu dengan kias perwujudan. Manusia dengan segala impiannya, membawa mereka untuk tidak terpaku dalam alam pikiran yang salah.
Manusia bisa terbang di udara, dalam khayalan. Dan mungkin ada dunia lain yang dapat memungkinkannya. Seperti kata ‘impian’, yang diberi arti kiasan sebagai dunia yang lebih baik, dunia yang manusia inginkan.
Dunia manusia kita adalah salah satu dari dunia-dunia mungkin (Aart van Zoest: 1991). Metafora sederhana dapat mengingatkan kembali bahwa di ujung sana ada dunia mungkin yang lain selain dunia kita. Jika dunia kita terlalu tandus, dangkal, sudah tentu kita akan menggapai metafora. Seperti yang ada dalam karya sastra, dan juga kitab suci Alquran yang penuh keindahan gaya bahasa.
Untuk membentuk metafora, ada polanya, yakni: Perwujudan–penjelas–perwujudan. Misal, kalimat "Kekasihku jangan bersedih". Kata 'kekasihku' pada kalimat tersebut, bisa diganti dengan kata ‘jantung hati’, jika kita ingin menyamakan kekasih dengan jantung hati kita. Dengan alasan bahwa kekasih itu sebagai tanda hidupnya kita. Bila kekasih itu mati, kita juga mati.
Sebagaimana dalam bahasa Indonesia, bahasa Arab juga memiliki konsep metafora, yakni isti’arah. Dalam Balaghah (ilmu yang mempelajari gaya bahasa Arab), isti’arah digunakan sebagai metafora sebagian, yaitu, seperti dijelaskan Guru Besar UIN Jakarta Prof Sukron Kamil, "Kata atau kalimat bukan dalam makna aslinya, karena ada hubungan makna asli dengan yang dipakai, dan ada tanda yang menunjukkan hal itu."
Jika dilihat dari kata yang dipakai, isti’arah terbagi dalam empat bagian. Pertama, isti’arah tasrikhiyyah, yakni kata yang disebut adalah musyabbah bih (yang diserupai). Kedua, isti’arah takhyiliyyah, yaitu yang disebut adalah musyabbah-nya, tapi, kalimat sesudahnya menunjuk pada musyabbah bih. Lalu yang ketiga, isti’arah asliyah, jenis ini, kata yang disebut tidak memiliki derivasinya. Dan terakhir, isti’arah tabaiyah, yaitu kebalikan dari isti’arah asliyyah.
Dilihat dari tanda setelah kata metaforisnya, isti’arah terbagi ke dalam tiga macam. Pertama, isti’arah mutlaqah, yang tidak diikuti kalimat, baik itu yang menunjuk pada musyabbah maupun musyabbah bih. Kedua, isti’arah murasysyahah, yaitu isti’arah yang diikuti tanda yang menunjuk pada musyabbah bih. Ketiga, isti’arah mujarradah, di mana isti’arah ini menunjuk pada musyabbah.
Salah satu contoh dalam Alquran yang menggunakan gaya bahasa isti'arah, adalah Surat Al Baqarah ayat 223. "Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman." (QS Al Baqarah ayat 223)
Contoh selanjutnya juga ada dalam Surat Al Fajr ayat 10. Allah SWT berfirman, "Dan kaum Fir'aun yang mempunyai pasak-pasak." (QS Al Fajr ayat 10). Para Ulama tafsir ada yang menafsirkan pasak tersebut dengan bala tentara yang dimiliki Fir'aun, dan ada yang menafsirkannya dengan bangunan-bangunan besar, seperti Piramida, yang dibangun di masa itu.
Selain itu, dalam ilmu Balaghah, juga dikenal Tasybih (persamaan atau simile). Gaya bahasa Tasybih menggunakan perbandingan yang bersifat eksplisit. Maksudnya, ia langsung menyatakan adanya kesamaan dengan hal lain. Hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.
Dalam penukaran bentuk yang terjadi dalam proses simile, sesuatu yang disebut pertama, dinyatakan mempunyai sifat yang sama, atau mirip, dengan sesuatu yang disebut belakangan. Seperti: "Di hadapan mereka, Dukuh paruk kelihatan remang seperti seekor kerbau besar sedang lelap".
Di samping itu, bahasa Arab juga memiliki konsep yang persis dengan simile, yakni tasybih. Gaya bahasa ini mengindikasikan adanya penyerupaan antara musyabbah (yang menyerupai) dan musyabbah bih (yang diserupai). Penyerupaan atau perumpamaan itu mengharuskan adanya makna yang lain dan sebuah alat yang disebut adat tasybih.
Contohnya adalah pada Surat Ar Ra'd ayat 14. Allah SWT berfirman, "....berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat mengabulkan apa pun bagi mereka, kecuali bagaikan orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air agar (air) sampai ke mulutnya. Padahal air itu tidak akan sampai ke mulutnya. Dan doa orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka. (QS Ar Ra'd ayat 14)