REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seni qiraat semakin berkembang, bahkan menjadi salah satu mazhab (aliran) yang berasal dari seseorang imam qiraat berdasarkan sanad. Para guru qiraat yang belajar dari Rasulullah, kemudian mengajarkan kepada para tabiin yang menyebar ke penjuru dunia. Kemudian, di masing-masing tempat akan muncul ahli-ahli qiraat yang terus meneruskan seni ini.
Dalam laman islamic awarness, dituliskan qiraat baru populer menjadi istilah pada permulaan abad kedua Hijriyah ketika menyebarnya umat Islam ke kota-kota lain. Mereka membaca Alquran menurut bacaan masing-masing imam mereka yang sering terdapat perbedaan antara satu dengan yang lain.
Yang membuat masing-masing jenis qiraat ini beda hanyalah pada pelafalan dialeknya karena bahasa Arab di masing-masing daerah tersebut tidak sama. Para imam tersebut menurunkan pedoman qiraat yang bukan merupakan ciptaan mereka sendiri. Mereka mendapatkan ilmu ini dari guru sebelumnya yang kemudian jika dirunut berarti ilmu ini diturunkan melalui riwayat dengan sanad, yaitu ada guru dari guru sebelumnya yang langsung belajar pada Rasulullah. Transformasi qiraat ini berlangsung secara sederhana dan turun temurun dari generasi ke generasi.
Perbedaan dalam melafalkan ayat-ayat Alquran ini mulai terjadi pada masa Khalifah Usman bin Affan. Ketika itu, Usman mengirimkan mushaf ke pelosok negeri yang dikuasai Islam dengan menyertakan orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf-mushaf tersebut. Qiraat ini berbeda satu dengan lainnya karena mereka mengambilnya dari sahabat yang berbeda pula. Perbedaan ini berlanjut pada tingkat tabiin di setiap daerah penyebaran.
Banyaknya jenis qiraat ini membuat seorang imam, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam, tergerak untuk mengumpulkannya dan menyusunnya dalam satu kitab. Menyusul kemudian, ulama lainnya menyusun berbagai kitab qiraat dengan masing-masing metode penulisan dan kategorisasinya.
Untuk mempermudah mengenali qiraat yang banyak itu, dikelompokkanlah sesuai jenisnya. Dari segi jumlah, ada tiga macam qiraat yang terkenal, yaitu qiraat sab'ah, 'asyrah, dan syadzah. Sedangkan, Ibn al-Jazari membaginya dari segi kaidah hadis dan kekuatan sanadnya.
Jenis qiraat yang muncul pertama kali adalah qiraat sab'ah. Qiraat ini telah akrab di dunia akademis sejak abad kedua Hijriyah. Tapi, pada masa itu qiraat sab'ah ini belum dikenal secara luas di kalangan umat Islam. Yang membuat tidak atau belum memasyarakatnya qiraat tersebut adalah karena kecenderungan ulama-ulama saat itu hanya memasyarakatkan satu jenis qiraat dengan mengabaikan qiraat yang lain, baik yang tidak benar maupun dianggap benar.
Kitab Sab'ah disusun Ibnu Mujahid dengan dengan cara mengumpulkan tujuh jenis qiraat yang mempunyai sanad bersambung kepada sahabat Rasulullah SAW terkemuka. Mereka adalah Abdullah bin Katsir Aldariy dari Makkah, Nafi ibn Nu'aim dari Madinah, Abdullah Al Yashibi dari Syam, Abu Amr dari Basrah, Yaqub yang digantikan al Kisai dari Bashrah, Hamzah dari Kufah, dan Ashim dari Kufah.
Sebenarnya, masih banyak ahli-ahli qiraat dari berbagai daerah lainnya. Tapi, para ulama sepakat membatasi jumlah imam qiraat dan mengelompokkan qiraat dalam enam macam, yaitu mutawatir, masyhur, ahad, syaz, maudu', dan mudraj. Penyebaran Islam semakin meluas, begitu juga para guru dan ulama hingga ke daerah-daerah lain di luar tanah Arab.
Karena penyebaran para guru ini membuat setiap daerah bisa mengembangkan ilmu qiraat yang dibawa mereka. Daerah yang dirasa paling pesat kemajuannya dalam bidang qiraat ini, adalah Mesir. Salah seorang ahli qiraat yang tinggal di Madura, Ustaz Mudda'i mengatakan, Mesir menjadi kiblat dalam pembacaan qiraat oleh orang Indonesia. "Bahkan, oleh seluruh dunia, banyak sekali ahli qiraat yang terkenal dari sana," ujarnya.
Ahli qiraat yang menjuarai berbagai lomba qiraat pada 80-an, Muammar ZA, juga sependapat dengannya. Menurutnya, Mesir adalah tempat yang paling pesat perkembangannya dalam seni qiraat. "Alquran memang turun di tanah Arab, namun di Mesir lah yang paling banyak menghafal dan bisa melagukan Alquran dengan merdu," ujarnya.
Menurutnya, para ahli qiraat dari Mesir bahasanya paling bagus. Menurutnya, meski seni qiraat terus berkembang, tidak ada perbedaan signnifikan dari masa ke masa. "Meski bisa dikembangkan, namun tak bisa dimodernisasi," ujarnya.
Paling banter, menurutnya, hanya dijadikan lebih teratur nada lantunannya. Caranya adalah dengan memperhatikan qoror, nawa, jawab, jawatul jawab, dan hal lainnya. "Membaca Alquran dimulai dengan nada yang rendah, kemudian semakin tinggi, tinggi, dan tinggi lagi," ujarnya.