Selasa 14 Jun 2022 19:52 WIB

Industri Pengolahan Manufaktur di Jabar Didorong Optimalkan Transaksi LCS

Fasilitas yang sudah diberlakukan sejak lama ini harus dioptimalkan pelaku industri

Rep: arie lukihardianti/ Red: Hiru Muhammad
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat Herawanto, fasilitas yang sudah diberlakukan sejak lama ini harus bisa dioptimalkan oleh para pelaku industri untuk memangkas ongkos produksi.
Foto: istimewa
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat Herawanto, fasilitas yang sudah diberlakukan sejak lama ini harus bisa dioptimalkan oleh para pelaku industri untuk memangkas ongkos produksi.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG --Bank Indonesia Jawa Barat mendorong pelaku industri pengolahan manufaktur untuk mengoptimalkan fasilitas Local Currency Settlement (LCS). Sehingga, bisa meminimalisasi risiko ganda dari ketidak pastian nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.

LCS sendiri, adalah penyelesaian transaksi bilateral antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara dimana settlement transaksinya dilakukan di dalam yuridiksi wilayah negara masing-masing. 

Baca Juga

Instrumen ini, ditujukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap mata uang hard currencies (terutama USD) dengan mendorong penggunaan mata uang lokal untuk settlement perdagangan dan investasi. LCS saat ini telah diimplementasikan di Indonesia, Malaysia, Thailand, Jepang dan Tiongkok, melibatkan 5 mata uang Iokal yakni Rupiah, Ringgit, Bath, Yen dan Yuan.

Menurut Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat Herawanto, fasilitas yang sudah diberlakukan sejak lama ini harus bisa dioptimalkan oleh para pelaku industri untuk memangkas ongkos produksi.

"Cross Rate ini kan sebenarnya menjadi variabel dalam ongkos produksi, sehingga dengan memanfaatkan fasilitas ini ongkos produksi menjadi lebih efisien," ujar Herawanto dalam konferensi pers West Java Industrial Meeting (WJIM) dengan tema "Industri Jawa Barat Berdaya Saing: Dukungan Local Currency Settlement (LCS) untuk Ekspor Impor dan Instrumen Pendukung Lainnya", di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat, Selasa (14/6/2022).

Nantinya, kata Herawanto, secara sederhana pelaku ekspor impor bisa menggunakan mata uang rupiah untuk bertransaksi dengan konsumen yang ada di negara lain.

"Biasanya kan kalau kita impor itu harus dikonversi dulu ke dolar, terus konversi lagi ke mata uang negara asal impor, begitupun yang ekspor, jadi muter uang di dolar, dan itu bisa berisiko lantaran fluktuasi nilai tukar," katanya.

Dengan demikian, Herawanto meyakini hal ini bisa meningkatkan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing lainnya serta menjaga tingkat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Herawanto mengatakan, potensi optimalisasi LCS di Jawa Barat cukup besar. Apalagi, Jawa Barat menjadi daerah dengan sumbangsih cukup besar dari sektor ekspor melalui produk manufaktur hingga mencapai 23,4 persen dan Jawa Barat juga berkontribusi terhadap perekonomian nasional hingga 28,3 persen.

"Maka tentunya ketika berbicara soal daya saing, pemerintah pusat hingga daerah dan institusi seperti kami perlu memberikan berbagai informasi soal berbagai dukungan yang telah ada yang bisa dioptimalkan," katanya.

Namun, kata Herawanto, saat ini masih minim pelaku industri di Jawa Barat yang memanfaatkan fasilitas LCS dalam kegiatan transaksinya. Ia menduga para pelaku industri belum terlalu mengerti bagaimana garis besar keuntungan bertransaksi melalui fasilitas LCS.

"Transaksi LCS di Jabar sebenarnya cukup besar. Kita lihat misalnya dari transaksi ekspor Jabar per April 2022 mencapai 3,4 miliar USD. Tapi kalau dilihat pemanfaatannya, transaksi LCS baru 912.000 dolar. Artinya masih banyak ruang yang harus dimanfaatkan," katanya.

Ia mengatakan, saat ini fasilitas LCS sudah terkoneksi dengan empat negara, yakni China, Jepang, Malaysia dan Thailand. Jumlah ini, akan terus bertambah sehingga mata uang rupiah bisa terkoneksi dengan negara lain.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement