Kamis 26 May 2022 15:17 WIB

Wabah PMK, Bea Cukai Diminta Perketat Pemasukan Sapi Impor

Pengawasan ketat dari Bea Cukai akan dapat meminimalisir penyebaran PMK

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Gita Amanda
Petugas memeriksa mulut seekor sapi saat pemeriksaan hewan ternak terkait wabah penyakit mulut dan kuku (PMK). Bea Cukai diminta melakukan pengawasan ketat terhadap lalu lintas hewan demi mencegah penyebaran PMK. (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO
Petugas memeriksa mulut seekor sapi saat pemeriksaan hewan ternak terkait wabah penyakit mulut dan kuku (PMK). Bea Cukai diminta melakukan pengawasan ketat terhadap lalu lintas hewan demi mencegah penyebaran PMK. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses pengawasan yang ketat dari Bea Cukai untuk sapi impor dan program karantina yang baik dapat meminimalisir penyebaran penyakit menular hewan, termasuk penyakit mulut dan kuku (PMK). Selain itu, upaya pengawasan dari dokter hewan dan pengawasan hewan dalam setiap Rumah Potong Hewan (RPH) juga perlu diperkuat.

“Titik-titik pemeriksaan, pengawasan dan karantina untuk sapi impor perlu menjadi fokus pemerintah supaya PMK tidak semakin meluas,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, dalam keterangan resminya, Kamis (26/5/2022).

Baca Juga

Ia pun menyebut perlunya setiap pulau untuk memiliki pusat karantina hewan dan bibit hewan ternak yang diimpor untuk menghindari penyebaran virus yang dapat menyebar dengan cepat melalui udara.

Meskipun dikatakan oleh Kementerian Pertanian bahwa virus PMK ini tidak berbahaya bagi manusia, namun sangat berakibat fatal bagi hewan ternaik seperti sapi.

Aditya mengatakan, penyakit itu dikhawatirkan mengakibatkan penurunan penjualan daging sapi di sejumlah daerah. Jika diteruskan dan kembali terjadi, akan berpengaruh terhadap harga yang naik, produksi dalam negeri yang menurun dan penurunan pendapatan peternak.

Menurut Outlook Daging Sapi 2020 dari Kementerian Pertanian, sekitar 30 persen hingga 40 persen kebutuhan daging sapi nasional dipenuhi melalui impor, baik impor daging sapi atau hewan sejenis lembu lainnya maupun impor sapi bakalan. Impor didominasi oleh Australia. Namun di beberapa tahun terakhir Indonesia mulai mendiversifikasi dan mengimpor dari India berupa daging beku.

Indonesia masih membutuhkan impor daging maupun bibit hewan ternak karena ada keterbatasan pasokan domestik. Sementara permintaan daging semakin meningkat seiring dengan pertambahan populasi dan peningkatan pendapatan terutama bagi kelas menengah yang semakin bertambah.

 

Hingga saat ini, produksi dalam negeri masih belum mampu untuk memenuhi keseluruhan kebutuhan daging sapi. Menurut Profil Komoditas Daging Sapi dari Kementerian Perdagangan, laju pertumbuhan populasi sapi nasional berdasarkan data dalam 30 tahun terakhir adalah 1,44 persen.

Sementara, laju pertumbuhan permintaan daging tumbuh cepat yaitu 4,7 persen per tahun. Permintaan dan produksi yang timpang tersebut, menyebabkan Indonesia masih harus untuk melakukan impor sapi dan daging sapi untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Pemerintah perlu mengevaluasi regulasi impor daging sapi supaya dapat merespons kebutuhan pasar dengan cepat, seperti penyederhanaan proses untuk mendapatkan izin impor. Proses tersebut seharusnya cukup hanya fokus pada pemeriksaan kualitas dan identifikasi impor secara cepat dan wajar, serta pengawasan kesehatan hewan.

Ia menambahkan, penelitian CIPS juga merekomendasikan, pemerintah perlu memastikan regulasi yang ada dapat mengakomodir seluruh importir daging sapi yang memenuhi syarat, baik swasta maupun BUMN, supaya mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengimpor.

“Untuk memberikan perlindungan pada konsumen terkait risiko penyakit hewan, pemerintah lebih baik fokus pada peningkatan kinerja sistem pemantauan kesehatan daripada membatasi impor hanya untuk BUMN,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement