Oleh: Immawan Wahyudi
اَلْـحَمْدُ لِلّهِ الَّذِيْ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ . وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ نَبِيِّنَا مُحَمَّد وَعَلَى اَلِهَ وَ اَصْحَبِهَ وَمَنْ وَّالَاهُ اَمَّا بّعْدُ فَيَاعِبَدَاللهِ أُوْصِيْكُمْ وَأِيَّايَ بِتَقْوَى االلهِ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَدْ فَازَالْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ : يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ لآأِلهَ اِلَّااللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ.اللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ .اللهُ اَكْبَرُكَبِيْرًا وَالْحَمْدُاِللهِ كَثِيْرًا وَ سُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةَوَّاَصِيْلً
Kaum muslimin yang semoga senantiasa dimuliakan oleh Allah Swt
Marilah senantiasa kita perbaharui persaksian kita, bahwa tidak ada Tuhan yang wajib kita sembah selain Allah, Tuhan Yang Maha mencipta, Maha memelihara dan Maha menguasai seluruh alam. Senantiasa pula kita perbaharui persaksian kita bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw adalah Nabi dan Rasul Allah, pembawa cahaya Islam yang telah membebaskan manusia dari alam kegelapan menuju alam cahaya keimanan dan keluhuran peradaban.
Alhamdulillah wa syukrulillah, kita harus bersyukur bahwa Allah telah memberikan kepada kita semua kemudahan untuk beraktivitas dengan dilenyapkannya secara bertahap Covid 19 dari bumi Indonesia. Semoga tidak ada lagi pandemi Covid dan sejenisnya. Aamiin.
Jama’ah ’Ied rahimakumullah. Menurut para ’Ulama makna fithrah manusia menyangkut dua hal pokok. Pertama, status fithrah manusia sebagai mahluk yang ber Tuhan, yang telah terikat dengan janji kepada Allah Swt sebagaimana termaktub dalam firmanNya
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”, (QS al-A’raaf (7) : 172)
Kedua, makna fithrah adalah suci / bersih dari dosa, antara lain sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:
وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَ
فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ
Artinya : ”Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya. Dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (QS asy-Syams (91): 7-10
Dalam kaitannya dengan ’Id al-Fithri kita melihat adanya pemaknaan yang agak berbeda dengan 2 (dua) hal pokok diatas. Dalam kenyataan sosial, hari raya ’Id al-Fithri sekurang-kurangnya dimaknai oleh masyarakat dalam 3 (tiga) level penghayatan yang satu dengan yang lainnya berbeda pada tingkat kedalaman makna syar’inya, namun memiliki ruh dan pengaruh yang kurang lebih satu tujuan.
Pertama, kita menyaksikan dalam kehidupan sehari-hari jumlah kelompok Muslim yang semakin menyandarkan diri kepada pemahaman yang mendekati kesesuaian dengan maksud dan tujuan syari’ah. Kelompok ini kian hari kian meningkat. Misalnyauntuk menghindari riba, memilih bank syari’ah, untuk menginap memilih hotel syari’ah, untuk menjaga kehalalan makanan mendirikan halal research centre dan hal-hal yang senada dengan itu. Kelompok ini menunjukkan kepedulian sosial yang kuat, sangat menjaga pembayaran zakat maal.n Singkatnya ukuran bertindak mereka sehari-hari sangat mempertimbangkan syari’ah.
Kita patut berbahagia bahwa dalam kenyataan sosial terdapat pula kecenderungan pemaknaan ’Id al-Fithri yang sudah lebih baik dari sekadar kegembiraan semata. Kelompok kedua ini memaknai ’Id al-Fithri dengan memfokuskan pada kegiatan religius, misalnya takbiran sebagai bentuk syi’ar Islam dan memahami betul momentum ritual shalat ’Id al-Fithri sesuai aturan syar’iya. Namun kelompok ini kurang aspek sosialnya, sehingga belum mengikutkan kaum dhu’afa di lingkungannya untuk turut menikmati kegembiraan di hara raya. .
Kita juga masih menyaksikan respon masyarakat terhadap ’Id al-Fithri sebagai aktualisasi budaya yang dikenal sebagai dino riyoyo yang cenderung menekankan pada ekspresi budaya. Oleh sebab itu ’Id al-Fithri diidentikkan dengan momentum kegembiraan, bertemu keluarga dengan makan enak dan berpakaian bagus. Karena sifatnya yang khas Indonesia, maka fenomena semacam ini hanya bisa difahami sebagai realitas yang mau tidak mau kita terima untuk memperbesar lingkup warga masyarakat yang bergembira di hari raya. Kelompok ini prosentasenya tentu paling besar. Perlu kiranya kita fahami bahwa masyarakat manusia mengenal proses sosiologis dan proses kultural yang amat panjang, sehingga fenomena semacam ini bukan merupakan fase yang sudah final, namun merupakan fase yang dalam bahasa sosio-budaya disebut sebagai kebudayaan populer, budaya rakyat. Fenomena ini masih akan terus berproses ke arah yang lebih baik dan lebih bermakna.
Tepat kiranya pandangan sejarahwan sekaligus budayawan H. Kuntowijoyo (Paradigma Islam (1991 : 236-237) yang menyatakan; ”… tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa budaya Islam sesungguhnya justru terdapat dalam budaya populer kita…….budaya kerakyatan, budaya bawah, baik di Sumatera maupun di Jawa hampir sepenuhnya dipengaruhi oleh Islam. Meskipun disana-sini masih terlihat sifat mistis dan mitologisnya.”
Pesan penting dari fenomena sosial budaya dalam kaitannya dengan kemurnian ajaran Islam adalah, bagaimana budaya populer yang ada di tengah masyarakat dapat dipelihara sebagai hazanah Islam pada satu sisi, dan pada sisi lain budaya tersebut terus dapat kita kembangkan sebagai sarana menuju terpenuhinya kesempurnaan pelaksanaan ajaran Islam.
Tentu pemaknaan yang ideal dari Hari Raya ’Id al-Fithri adalah yang kembali ke hakikat dari nilai-nilai suci ajaran Islam sepenuhnya, dimana aspek hablun minallah dengan hablun minannaas dapat sedemikian rupa seimbang dan termanifestasikan secara alami dalam menyambut hari kemenangan, hari raya ’Id al-Fithri. Janganlah kita –terutama para muda’i dan mubaligh—merasa lelah, untuk terus mendampingi kelompok masyarakat yang masih berada pada tataran pemahaman hari raya ’Id al-Fithri dalam wajah budaya populer dan inilah wajah utama dan kekuatan sosial dari masyarakat Muslim Indonesia.
Allahu Akbar–Allahu Akbar. Allahu Akbar walillaahial-hamd
Mengakhiri pesan khutbah di pagi yang berbahagia ini, marilah kita terus saling perkuat, jangan saling mengabaikan. Marilah kita saling mengisi, jangan saling mencurigai. Marilah kita saling membantu, jangan saling memusuhi, agar harapan kita lahir insan yang benar-benar bertaqwa dapat kita ujudkan. Allah swt berfirman dalam surat Ali ’Imran 185 :
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” Allah Swt juga berfirman :
اِنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ ۗوَاِنْ تُؤْمِنُوْا وَتَتَّقُوْا يُؤْتِكُمْ اُجُوْرَكُمْ وَلَا يَسْـَٔلْكُمْ اَمْوَالَكُمْ
”Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.” (QS Muhammad (47) : 36
Allah Swt telah berfirman pula
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ وَلَآ اٰۤمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۗوَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا ۗوَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْۘا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
” ……dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS Al-Maidah (5) : 2.
Kita harus menyadari bahwa dalam kenyataannya realita hidup selalu berpasang-pasangan. Disamping sebagian besar ummat manusia ingin hidup dengan baik dan benar ada pula manusia yang kecenderungannya sendau-gurau tidak berguna. Sebagian besar ummat manusia tidak mau diperdaya oleh hidup yang terbawa oleh hawa nafsu. Tapi ada segolongan manusia yang memperdaya diri dan menistakan nilai-nilai keutamaan hidup. Sebagian besar manusia bertolong menolong untuk kebaikan dan ketaqwaan. Sebagian kecil manusia ada yang mendasarkan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Sebagian besar ummat manusia anti kekerasan, anti korupsi dan anti kebohongan. Tapi dalam realitas sosial ada sebagin masyarakat yang pro kekerasan, pro korupsi dan pro kebohongan. Kita harus terus meningkatkan kesadaran dalam membangun nilai-nilai Islam dalam diri pribadi kita, namun kita juga harus bersabar menghadapi sebagian kecil masyarakat kita yang belum bisa menerima kebesaran dan keluhuran nilai-nilai ad-diinul Islam.
Mengakhiri khutbah ini, marilah kita tingkatkan ketaqwaan kepada Allah dan bermohon hanya kepada Allah, yakinlah bahwa hanya Allahlah yang bisa mengabulkan permohonan hamba-hambaNya.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ. اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَرْخِصْ أَسْعَارَهُمْ وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِيْ إِلَيْهَا مَعَادُنَا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِيْ كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ. اَللَّهُمَّ افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْن وَسَلَامٌ عَلَى المُرْسَلِيْنَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Wassalaamu ’alaikum wr wb.
Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (FH UAD)