Bisakah Mewakili Qadha Puasa atau Fidyah untuk Keluarga?

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil

Senin 25 Apr 2022 17:18 WIB

 Bisakah Mewakili Qadha Puasa atau Fidyah untuk Keluarga?. Foto:  Zakat / fidyah ( ilustrasi) Foto: Dok Republika Bisakah Mewakili Qadha Puasa atau Fidyah untuk Keluarga?. Foto: Zakat / fidyah ( ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Para ulama sepakat jika ada seorang Muslim yang sakit dan tidak mampu berpuasa, dan belum sempat membayar hutang puasanya kemudian terlanjur meninggal dunia. Maka utang-utang puasanya terhapus dengan sendirinya.

Dalam penjelasan Ustadzah Maharati Marfuah Lc dalam bukunya berjudul Qadha dan Fidyah Puasa. Diterangkan, jika orang yang sakit itu sempat mengalami kesembuhan, tapi belum sempat membayar utang puasanya, kemudian orang itu meninggal dunia. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membayar puasanya.

Baca Juga

"Apakah keluarganya harus melaksanakan qadha puasa untuk mengganti utang puasa orang yang meninggal itu atau cukup dengan membayar fidyah saja," kata Ustadzah Maharati dalam bukunya yang diterbitkan Rumah Fiqih Publishing, Juni 2022.

Ustadzah Maharati menerangkan, penyebab perbedaan pendapat ini adalah adanya dua dalil yang bertentangan. Dalil pertama adalah dalil yang menyebutkan bahwa keluarganya harus berpuasa qadha untuk mengganti hutang puasa orang yang meninggal. Sedangkan dalil yang kedua menyebutkan bahwa penggantian itu bukan dengan puasa qadha, melainkan cukup dengan membayar fidyah.

Pendapat ini banyak didukung oleh para ahli hadits, termasuk para ahli hadits di kalangan mazhab Asy-Syafi’iyah. Juga didukung oleh pendapat Abu Tsaur, Al-Auza’i, serta madzhab Adz-Dzahiriyah.

Dalil yang mereka gunakan adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Aisyah radhiyallahu anha.

"Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan hutang puasa, maka walinya harus berpuasa untuk membayarkan hutangnya." (HR Bukhari dan Muslim)

Jelas sekali dalam hadits ini disebutkan bahwa wali atau keluarga almarhum diharuskan berpuasa qadha untuk membayar hutang puasa yang bersangkutan.

Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat dari jumhur ulama fiqih, seperti mazhab Asy-Syafi’iyah dalam qaul jadid serta madzhab Al-Hanabilah. Dasarnya adalah hadits yang melarang qadha puasa untuk orang lain.

"Janganlah kamu melakukan sholat untuk orang lain, dan jangan pula melakukan puasa untuk orang lain. Tetapi berilah makan (orang miskin) sebagai pengganti puasa, satu mud hinthah untuk sehari puasa yang ditinggalkan." (HR An-Nasa’i)

Dalam hal ini pandangan madzhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah agak sedikit berbeda. Mereka mensyaratkan harus ada wasiat dari almarhum, untuk membayarkan hutangnya dalam bentuk memberi fidyah.