Manfaat Menyehatkan Puasa dari Era Pra dan Sesudah Islam

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah

Jumat 24 Apr 2020 11:40 WIB

Puasa digunakan sebagai terapi pengobatan pada masa lalu. Ilustrasi Ramadhan Foto: Reuters/Nikola Solic Puasa digunakan sebagai terapi pengobatan pada masa lalu. Ilustrasi Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Sebelum Islam diturunkan ke bumi sebagai ajaran yang paling akhir dan benar, berpuasa sudah ada sejak zaman sebelumnya. 

Dalam buku Sehat dengan Ibadah karya Jamal Muhammad Az-Zaki dijelaskan, puasa (lapar) kerap dijadikan sebagai sarana pengobatan.

Baca Juga

Dalam kertas papyrus dan lukisan gambar sebagai artefak Mesir kuno terdapat bukti yang menunjukkan bahwa bangsa Mesir kala itu juga melakukan puasa. Bahkan orang-orang Hindu dan Budha juga memiliki ajaran puasa dalam agama mereka.

Pada abad kelima sebelum Masehi, Hipprocates membukukan cara-cara puasa dan pentingnya berpuasa untuk terapi pengobatan. Dan pada masa Ptolamaic, para dokter di Alexandria Mesir menasihati pasien mereka dengan berpuasa agar cepat mendapatkan kesembuhan.

Senada dengan hal itu, bangsa Yunani misalnya seperti yang dilakukan Dokter Ascapad dan Selous, menggunakan puasa untuk mengobati penyakit yang sulit disembuhkan. Padahal di negeri Yunani saat itu, obat-obatan sangatlah melimpah dan bukan sesuatu yang sukar ditemui.

Lalu pada ke-15, Lodivo Corna menggunakan terapi puasa untuk mengobati beragam penyakit. Ia bahkan menerapkan puasa kepada dirinya sendiri dan terbukti ia dapat hidup sekitar 100 tahun lamanya dengan kesehatan yang bagus.

Di akhir hidupnya, ia menulis tentang terapi pengobatan puasa dengan slogan: “Barang siapa yang makan sedikit, maka ia akan berumur panjang.” 

Lalu bagaimana dengan puasa yang dikenal Islam? Menurut definisinya, puasa dalam Islam dikenal dalam dua dimensi. Yakni puasa (secara makna artinya menahan diri) dari nafsu yang bersifat lahiriah dan batiniah dari terbit fajar hingga terbenam matahari. 

Puasa dalam Islam terdapat berbagai jenis. Ada yang sunnah, ada yang wajib sebagaimana yang saat ini sedang dijalankan oleh umat Muslim, yakni puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan adalah perintah langsung dari Allah SWT kepada hamba-Nya.

Jika mengacu pada definisi istilah berpuasa versi Islam, jelas bahwa kedua dimensi menahan nafsu lahiriah dan batiniah yang diperintahkan ini bernilai plus. Sebab telah lumrah diketahui bahwa selain kesehatan tubuh yang bersifat fisik, kesehatan jiwa juga perlu dipelihara.

Dalam lingkup sains, kesehatan jiwa sejatinya berimplikasi kuat pada kesehatan tubuh. Orang dengan kadar pikiran yang jenuh dan stress, telah terbukti dapat merusak sistem organ-organ tubuh yang ia miliki. Yang paling sederhana, ketika seseorang mengalami depresi, kulit kepala meresponsnya dengan memproduksi ketombe dengan jumlah yang banyak.

Namun dengan berpuasa, secara lahir dan batin,manusia sesungguhnya tengah belajar meresapi makna hidup dan nikmat yang diberikan Allah SWT. Sehingga dengan relaksasi pikiran itu, sedikit banyak peregangan urat-urat saraf dalam tubuh turut merespons jiwa sehingga membantu stabilisasi organ tubuh yang lain.

Puasa, sebagaimana dijelaskan, dapat mengekang syahwat dan nafsu. Jika peruta manusia kenyang, maka syahwat akan menjadi besar. Dan sebaliknya, jika perut lapar, maka syahwat akan menjadi kecil.

Sehingga Rasulullah SAW bersabda: 

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Ya ma’syara as-syabab man-istatho’a al-baa-ata falyatazawwaj fainnahu aghadhu lilbashari wa ahshona lil-farji, wa man lam yastathi fa-alaihi bishaum fainnahu lahu wija-un.” 

Yang artinya: “Wahai pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu memberi nafkah, maka menikahlah. Karena sesungguhnya menikah lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemauan. Barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa dapat menjadi perisai baginya,”.