Dalam doanya, Rasulullah juga menyebutkan lisan, pendengaran, penglihatan, belakang, depan, atas, dan bawah agar semuanya bercahaya. Intinya, menjadi manusia yang benar-benar bercahaya. Manusia yang hatinya bercahaya akan merasakan luas dan lapang di dalam dadanya.
Rasulullah bersabda, “Ketika cahaya telah masuk di dalam hati maka (hati itu) akan menjadi luas dan lapang.” Para sahabat bertanya, “Apa tandanya, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Al-inabah ila dar al-khulud, wa at-tajafa‘an dar al-ghurur, wa al-isti’dad lil maut qabla nuzulih.” (HR At Tirmidzi).
Yakni, kembali ke negeri keabadian (akhirat), menjauh dari negeri ketertipuan (dunia), dan bersiap-siap menjemput kematian sebelum datang kematian itu.
Menjadi manusia bercahaya memang tidak mudah. Selain harus membersihkan hati dari segala kotorannya, setiap pancaindra juga harus digunakan dengan cara yang baik. Yaitu, dengan menghiasi tubuh dengan segala bentuk tutur kata dan perilaku yang baik.
Dengan makna lain, jika cahaya identik dengan segala kebaikan, manusia yang bercahaya adalah manusia yang baik lahir dan batinnya. Keduanya memancarkan cahaya kebaikan yang memberikan petunjuk bagi manusia lainnya keluar dari segala kesesatan. Dia bisa menjadi panutan bagi manusia lain yang ingin keluar dari kegelapan dan kesesatan.
Kebalikan dari cahaya adalah gelap atau kegelapan yang identik dengan kejelekan, kejahatan, dan kesesatan. Manusia yang tidak memiliki atau kehilangan cahaya akan hidup dalam kegelapan karena jauh dari kebaikan dan kebenaran. Jauh dari iman, jauh dari sifat dan perilaku yang baik. Ia tidak mampu memberikan petunjuk dan tentu dia tidak dapat dijadikan panutan atau pemimpin.