Menurut Imam Malik seperti yang dikutip oleh Abu Dawud dalam As-Sunan, hadis tersebut dusta karena ada hadis yang menentangnya dengan sanad (kebersambungan) yang shahih. Yakni hadist yang diriwayatkan dari Kuraib berbunyi: “Sesungguhnya beberapa sahabat Rasulullah SAW menyuruh aku menemui Ummu Salamah untuk bertanya kepadanya tentang hari-hari di mana Rasulullah sangat rajin berpuasa”. Dia pun menjawab: “Hari Sabtu dan Ahad.”
Mereka lalu menemui Ummu Salamah dan beliau menjawab: "Ya benar. Rasulullah pernah bersabda Sabtu dan Ahad adalah hari raya orang-orang musyrik. Dan aku ingin berbeda dari mereka”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i, Al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban.
Selanjutnya, puasa di setengah bulan terakhir dari bulan Sya’ban. Menurut Ibnu Rusyd, mengenai puasa ini para ulama menghukuminya makruh dan sebagian ulama memperbolehkannya. Adapun ulama-ulama yang menghukuminya makruh mengacu pada rujukan hadis Rasulullah SAW.
Rasulullah bersabda: “Tidak ada puasa sama sekali pada separuh terakhir dari bulan Sya’ban hingga Ramadhan,”. Hadis ini diriwayatkan oleh Ashhab As-Sunan dan hadist-nya dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dengan redaksi: “Ketika tiba pertengahan bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.”
Sementara itu ulama-ulama yang memperbolehkan puasa di hari ini mengacu pada landasan hadis yang bersumber dari Ummu Salamah. Ia berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW berpuasa dua bulan berturut-turut selain Sya’ban dan Ramadhan."
Selain itu juga berdasarkan hadis yang bersumber dari Ibnu Umar, ia berkata: “Rasulullah SAW biasa merangkap puasa Sya’ban dan Ramadhan”. Hadis ini diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam kitabnya berjudul Ma’ani al-Atsar. Dan di dala sanadnya terdapat nama Laits bin Abu Sulaim, seorang perawi yang dhaif (lemah periwayatan). Kata Ibnu Hibban, ketika lanjut usia Laits bin Abu Sulaim mengalami stres.