REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak kapan penulisan dan pembukuan hadis dilakukan? Ada ahli hadis yang menyakini proses penulisan sabda Rasulullah SAW–pedoman hidup umat Islam kedua, setelah Alquran itu–dimulai pada era Nabi Muhammad. Namun, ada juga ahli hadis yang berpendapat bahwa Nabi SAW melarang umatnya pada waktu itu untuk menulis hadis.
Tulislah (hadis itu!) Demi Allah, tidak keluar dari Rasul itu kecuali kebenaran, sabda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari. Perintah itu disampaikan Rasulullah kepada sahabat Abdullah bin Amr bin As. Hadis ini dijadikan dasar bolehnya penulisan hadis sejak zaman Nabi SAW masih hidup.
Namun, ahli hadis lainnya berpandangan, justru Rasulullah melarang para sahabat untuk menulis hadis, karena khawatir bercampur dengan Alquran. Jangan kamu menuliskan apa-apa yang datang dariku, siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Alquran, maka hapuslan, sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal.
Kedua hadis itu benar, ungkap ulama dari al-Azhar Kairo, Syekh Abdul Halim Mahmud. Larangan menulis hadis yang disampikan Rasulullah itu bersifat umum, sedangkan diperbolehkannya menulis sabdanya bersifat khusus. Hadis yang membolehkan, kata ahli hadis dari Suriah, Syekh Muhammad Ajaj al-Khatib, justru lebih kuat.
Di zaman Khulafa ar-Rasyidun, banyak sahabat yang berminat untuk menulis hadis. Namun, mereka tak melakukannya karena khawatir umat Islam akan lebih mencurahkan perhatiannya kepada hadis, dibandingkan Alquran. Sehingga, Abu Bakar dan Umar terpaksa harus membakar sekitar 500 hadis yang mereka kumpulkan.
Pengumpulan, penulisan, dan pembukuan Alquran mulai dilakukan secara besar-besaran pada abad ke-2 Hijriah. Saat itu, dunia Islam dikuasai oleh Kekhalifahan Umayyah di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pemimpin yang dikenal jujur dan adil itu memerintahkan pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis.
Saat itu, satu per satu penghafal hadis meninggal dunia. Meluasnya daerah kekuasaan Islam juga membuat para penghafal hadis terpencar-pencar ke berbagai wilayah. Di tengah kondisi itu, upaya pemalsuan hadis demi memuluskan berbagai kepentingan merajalela.
Pada abad ke-3 H, para ulama mulai memilah hadis-hadis sahih dan menyusunnya ke dalam berbagai topik. Abad ini disebut sejarah Islam sebagai era tadwin atau pembukuan hadis. Pada masa ini, muncul ulama-ulama ahli hadis yang membukukan sabda Rasulullah SAW secara sistematis.
Para ulama hadis yang muncul di abad pembukuan hadis itu, antara lain, Imam Bukhari menyusun Sahih al-Bukhari; Imam Muslim menyusun Sahih Muslim; Abu Dawud menyusun kitab Sunan Abi Dawud; Imam Abu Isa Muhammad at-Tirmizi menyusun kitab Sunan at-Tirmizi; Imam an-Nasai menyusun kitab Sunan an-Nasai, dan Ibnu Majah atau Muhammad bin Yazid ar-Rabai al-Qazwini menyusun Sunan Ibnu Majah. Keenam kitab hadis ini kemudian dikenal dengan sebutan al-Kutub as-Sittah atau kitab hadis yang enam.